Patofisiologi
Hingga saat ini patofisiologi stroke merupakan studi yang sebagian besar didasarkan pada serangkaian penelitian,
[18] terhadap berbagai proses yang saling terkait, meliputi kegagalan
energi, hilangnya
homeostasis ion sel,
asidosis, peningkatan kadar
Ca2+ sitosolik,
eksitotoksisitas,
toksisitas dengan
radikal bebas, produksi
asam arakidonat,
sitotoksisitas dengan
sitokina, aktivasi
sistem komplemen, disrupsi
sawar darah otak, aktivasi
sel glial dan
infiltrasi leukosit.
[19]
Pusat area
otak besar yang terpapar
iskemia akan mengalami penurunan aliran darah yang dramatis, menjadi cedera dan memicu
jenjang reaksi seperti
lintasan eksitotoksisitas yang berujung kepada
nekrosis yang menjadi pusat area
infark dikelilingi oleh
penumbra/zona peri-infarksi. Menurut
morfologi, nekrosis merupakan
bengkak selular akibat disrupsi
inti sel,
organel,
membran plasma, dan
disintegrasi struktur inti dan
sitoskeleton.
Di area penumbra, apoptosis neural akan berusaha dihambat oleh kedua mekanisme eksitotoksik dan peradangan,
[20] oleh karena sel otak yang masih normal akan menginduksi
sistem kekebalan turunan untuk meningkatkan toleransi jaringan otak terhadap kondisi iskemia, agar tetap dapat melakukan aktivitas
metabolisme. Protein khas CNS seperti
pancortin-2 akan berinteraksi dengan protein modulator
aktin,
Wiskott-Aldrich syndrome protein verprolin homologous-1 (WAVE-1) dan Bcl-xL akan membentuk kompleks protein mitokondrial untuk proses penghambatan tersebut.
Riset terkini menunjukkan bahwa banyak
neuron di area penumbra dapat mengalami apoptosis setelah beberapa
jam/
hari sebagai bagian dari proses pemulihan jaringan pasca stroke dengan 2 lintasan, yaitu lintasan ekstrinsik dan lintasan intrinsik.
Iskemia tidak hanya mempengaruhi jaringan
parenkima otak, namun berdampak pula kepada
sistem ekstrakranial. Oleh karena itu, stroke akan menginduksi imunosupresi yang dramatis melalui aktivasi berlebih
sistem saraf simpatetik, sehingga memungkinkan terjadinya
infeksi bakterial seperti
pneumonia.
Eksitotoksisitas asam glutamat
Asam glutamat merupakan
asam amino neurotransmiter eksitatorial utama di
otak, akan menumpuk di ruang ekstraselular dan mengaktivasi pencerapnya.
[19] Aktivasi pencerap glutamat akan mempengaruhi konsentrasi ion intraselular, terutama ion
Na+ dan
Ca2+. Peningkatan influx ion Na
+
dapat membuat sel menjadi cedera pada awal mula terjadinya iskemia,
namun riset menunjukkan bahwa sebagian besar kerusakan sel yang
ditimbulkan oleh toksisitas asam glutamat saat terjadi
iskemia lebih disebabkan oleh peningkatan berlebih influx ion
kalsium intraselular yang kemudian menimbulkan efek toksik.
Stres oksidatif
Sepanjang proses stroke, terjadi peningkatan
radikal bebas seperti
anion superoksida, radikal
hidroksil dan
NO. Sumber utama senyawa radikal bebas turunan
oksigen yang biasa disebut
spesi oksigen reaktif dalam proses iskemia adalah
mitokondria. Sedangkan produksi senyawa superoksida saat pasca iskemia adalah metabolisme
asam arakidonat melalui
lintasan siklo-oksigenase dan
lipo-oksigenase. Radikal bebas juga dapat diproduksi oleh
sel mikroglia yang teraktivasi dan
leukosit melalui sistem
NADPH oksidase segera setelah terjadi
reperfusi di jaringan iskemik.
Oksidasi tersebut akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut di jaringan dan merupakan
molekul yang penting untuk memicu
apoptosis setelah stroke iskemik.
NO umumnya dihasilkan dari L-
arginina dengan salah satu
isoform NO sintase, dan merupakan
kluster diferensiasi neuron di seluruh bagian otak dengan sebutan nNOS. Aktivasi nNOS memerlukan
kalsium/
kalmodulin. Di sisi lain, ekspresi iNOS (
bahasa Inggris:
inducible NOS) terdapat di
sel radang seperti
sel mikroglia dan
monosit. Kedua isoform nNOS dan iNOS memiliki peran yang merusak otak pada rentang waktu iskemia. Namun isoform yang ketiga eNOS (
bahasa Inggris:
endothelial NOS) memiliki efek
vasodilasi dan tidak bersifat merusak.
Aktivasi pencerap NMDA saat iskemia akan menstimulasi produksi NO oleh nNOS. NO yang terbentuk akan
masuk ke dalam
sitoplasma dan bereaksi dengan
superoksida dan menghasilkan sejenis spesi oksigen yang sangat reaktif yaitu
peroksinitrita (ONOO-).
Pasca iskemia, kedua jenis spesi oksigen reaktif dan spesi nitrogen
reaktif kemudian berperan untuk mengaktivasi beberapa lintasan
metabolisme seperti
radang,
apoptosis, dan penurunan pasokan
oksigen yang berdampak kepada peningkatan
asam laktat melalui
glikolisis anaerobik atau
asidosis. Selain itu, akan tampak
ekspresi gen iNOS di sel vaskular maupun sel yang mengalami peradangan dan ekspresi gen
COX-2 di
sel saraf di area antara infark dan penumbra. Kedua
gen radang ini akan meningkatkan kerusakan iskemik.
[21]
Peroksidasi lipid
Selain menghasilkan berbagai
senyawa ROS,
lintasan asidosis juga turut serta dalam proses
sintesis protein intraselular. Peroksidasi lipid di
membran sel yang menginduksi apoptosis terhadap neuron, akan menghasilkan senyawa
aldehida yang disebut 4-
hidroksinonenal (4-HNE) yang akan bereaksi dengan
transporter membran seperti Na
+/K
+ ATPase,
transporter glutamat dan
transporter glukosa.
Kerusakan di transporter membran, yang menyebabkan
influx berlebih ion
Ca2+ dan radikal bebas, lebih lanjut akan mengaktivasi
faktor transkripsi neuroprotektif seperti
NF-κB,
HIF-1 dan
IRF-1. Aktivasi faktor transkripsi ini akan menginduksi produksi
sitokina radang seperti
IL-1,
IL-6,
TNF-α,
kemokina seperti
IL-8,
MCP-1,
molekul adhesi sel seperti
selektin,
ICAM-1,
VCAM-1 dan
gen pro-radang lainnya seperti
IIP-10.
Disfungsi sawar darah otak
Sawar darah otak yang merupakan jaringan endotelium di otak akan merespon kondisi cedera akibat stroke dengan meningkatkan
permeabilitas dan menurunkan fungsi sawarnya, bersamaan dengan degradasi
lamina basal di dinding pembuluhnya. Oleh sebab itu, pada kondisi
akut,
stroke akan meningkatkan interaksi antara sel endotelial otak dengan
sel ekstravaskular seperti astrosit, mikroglia, neuron, dengan sel
intravaskular seperti
keping darah,
leukosit; dan memberikan kontribusi lebih lanjut pada proses peradangan, disamping perubahan sirkulasi kadar
ICAM-1,
trombomodulin,
faktor jaringan dan
tissue factor pathway inhibitor.
[22] Disfungsi endotelial yang menyebabkan defisiensi sawar darah otak,
impaired cerebral autoregulation dan perubahan
protrombotik dipercaya merupakan penyebab
cerebral small vessel disease (SVD). Penderita (SVD) dapat mengalami
infark lakunar, atau dengan disertai
leukoaraiosis.
Dari 594 penderita stroke, leukoaraiosis ditemukan dalam 55,4%
cerebral large vessel disease (LVD) atau ateroskeloris, 30,3% dalam SVD dan 14,3% dalam
cardioembolic disease.
Dalam pronosis LVD, leukoaraiosis memiliki kecenderungan ke arah grup
stenosis intrakranial dengan 40,3% untuk grup intrakranial, 26,9% untuk
grup ekstrakranial dan 45,5% untuk grup kombinasi keduanya. Tidak
ditemukan korelasi antara leukoaraiosis dengan
diabetes mellitus,
hiperlipidemia,
merokok,
hipertensi dan
penyakit jantung.
[23]
Infiltrasi leukosit
Di jaringan otak terdapat beberapa populasi
sel dengan kapasitas untuk mensekresi
sitokina setelah terjadi stimulasi iskemia, yaitu sel endotelial,
astrosit,
sel mikroglia dan
neuron.
Peran respon peradangan pasca iskemia dilakukan oleh sel mikroglia,
terutama di area penumbra dengan sekresi sitokina pro-radang,
metabolit dan
enzim toksik. Selain itu, sel mikroglia dan astrosit juga mensekresi faktor neuroprotektif seperti
eritropoietin,
TGFβ1, dan
metalotionein-2.
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan peran
leukosit terhadap
patogenesis cedera akibat stroke seperti cedera di jaringan akibat
reperfusi dan disfungsi mikrovaskular. Bukti-bukti tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian pokok yaitu,
- terjadi akumulasi leukosit pasca iskemia hingga terjadi cedera jaringan
- simtoma iskemia direspon dengan peningkatan neutrofil.[24] Dalam percobaan dengan tikus, rendahnya populasi neutrofil dalam sirkulasi darah menunjukkan volume infark yang lebih kecil.
- pencegahan adhesi sel antara leukosit dengan sel endotelial pada sawar darah otak, dengan antibodi monoklonal terbukti dapat memberikan perlindungan terhadap cedera akibat stroke.
Akumulasi
sel T terjadi pasca iskemia,
[24] dan diperkirakan merupakan penyebab terjadinya reperfusi.
Sel T CD8 dapat menginduksi cedera otak dengan
molekul dari granula sitotoksik.
Sel TH1 CD4+ dengan
sekresi sitokina pro-
radang termasuk
IL-2,
IL-12,
IFN-γ dan
TNF-α dapat memperburuk efek yang ditimbulkan stroke, sedangkan
Sel TH2 CD4+ dengan sitokina anti-radang seperti
IL-4,
IL-5,
IL-10 dan
IL-13 lebih mempunyai peran protektif.
Pendarahan
Pada percobaan terhadap hewan
kelinci, setidaknya
sitokina TNF-α atau
antibodinya berperan atas terjadinya
pendarahan setelah terjadi stroke iskemik yang diinduksi oleh
klot.
[25] Dalam hal ini terjadi peningkatan prognosis terjadinya pendarahan dari 18,5% menjadi 53,3% dan peningkatan
volume pendarahan hingga 87%. Disamping itu, penggunaan
tissue plasminogen activator (tPA) dengan
dosis
standar 3,3 mg/kg akan meningkatkan kemungkinan pendarahan dari 18,5%
menjadi 76,5%, efek tPA ini dapat diredam dengan penggunaan antibodi
anti-TNFα. Pemberian
EPO setelah 6 jam serangan stroke akan memperburuk pendarahan yang diinduksi tPA dengan mediasi
MMP-9,
NF-κB dan
interleukin-1 receptor-associated kinase-1 (IRAK-1).
[26]
Pada hewan
tikus, TNF-α akan menginduksi ekspresi
MMP-9 yang menurunkan kadar protein dalam sawar darah otak seperti
okludin,
[27] dan meningkatkan
permeabilitas pada
pembuluh kapiler otak.
[28] MMP-9 kemudian memodulasi,
[29] Gelatinase A untuk membuka
sawar darah otak. Pendarahan yang terjadi kemudian direspon tubuh dengan memproduksi
urokinase-type plasminogen activator (uPA). Ekspresi MMP-9 juga dapat diinduksi oleh
lipopolisakarida.
[29]
Faktor risiko
Hipertensi
Hipertensi akan merangsang pembentukan
plak aterosklerotik di pembuluh arteri dan arteriol dalam
otak, serta menginduksi
lintasan lipohialinosis di pembuluh ganglia basal, hingga menyebabkankan
infark lakunar atau
pendarahan otak.
[31]
Fibrilasi atrial
Fibrilasi atrial merupakan indikasi terjadinya
kardioembolisme, sedangkan kardioembolisme merupakan 20% penyebab stok iskemik.
[32]
Kardioembolisme terjadi akibat kurangnya kontraksi otot jantung di
bilik kiri, disebut stasis, yang terjadi oleh penumpukan konsentrasi
fibrinogen, D-dimer dan
faktor von Willebrand.
[33]
Hal ini merupakan indikasi status protrombotik dengan infark
miokardial, yang pada gilirannya, akan melepaskan trombus yang
terbentuk, dengan konsekuensi peningkatan risiko embolisasi di otak.
Sekitar 2,5% penderita infark miokardial akut akan mengalami stroke
dalam kurun waktu 2 hingga 4 minggu, 8% pria dan 11% wanita akan
mengalami stroke iskemik dalam waktu 6 tahun, oleh karena disfungsi dan
aneurysm bilik kiri jantung.
Aterosklerosis
Penelitian mengenai lintasan
aterogenesis yang memicu
aterosklerosis selama ini terfokus kepada pembuluh nadi koroner, namun proses serupa juga terjadi di otak dan menyebabkan stroke iskemik.
[34] Aterosklerosis dapat menyerang
pembuluh nadi otak seperti
pembuluh karotid,
pembuluh nadi di otak tengah, dan
pembuluh basilar, atau kepada
pembuluh arteriol otak seperti pembuluh
lenticulostriate,
basilar penetrating, dan
medullary.
Beberapa riset menunjukkan bahwa mekanisme aterosklerosis yang
menyerang pembuluh nadi dapat sedikit berbeda dengan mekanisme kepada
pembuluh arteriol.
Aterosklerosis intrakranial dianggap sebagai kondisi yang sangat jarang terjadi. Hasil otopsi
infark otak
dari 339 penderita stroke yang meninggal akibat aterosklerosis
intrakranial, ditemukan 62,2% plak intrakranial dan 43,2% stenosis
intrakranial.
[35] Hasil
otopsi oleh
National Cardiovascular Center,
Osaka,
Jepang terhadap 142 penderita stroke yang meninggal dalam waktu 30 hari sejak terhitung sejak terjadi serangan
iskemia, menunjukkan bahwa kedua jenis trombus yang kaya akan
keping darah dan yang kaya akan
fibrin berkembang di
culprit plaque di dalam pembuluh nadi otak merupakan faktor utama penyebab stroke aterotrombotik.
[36] 70% kasus stroke kardioembolik menunjukkan keberadaan trombus sebagai sumber potensial terbentuknya
emboli di
jantung atau
pembuluh balik terhadap penderita
patent foramen ovale dan
tetralogy of Fallot. Umumnya trombus yang kaya akan
keping darah yang mengendap di pembuluh balik jantung, akan terlepas dan membentuk emboli di pembuluh nadi otak.
Diabetes mellitus
Berdasarkan studi hasil
otopsi, penderita
diabetes mellitus rentan terhadap
infark lakunar dan
cerebral small vessel disease. Studi
epidemiologi
menunjukkan bahwa diabetes merupakan faktor risiko bagi stroke iskemik.
Patogenesis stroke yang dipicu tampaknya dimulai dari reasi berlebih
glikasi dan
oksidasi, disfungsi endotelial, peningkatan agregasi
keping darah, defisiensi
fibrinolisis dan resistansi
insulin.
[37] Dalam
hewan tikus, stroke iskemik yang terjadi dalam diabetes mellitus akan memicu stroke hemorragik yang disertai dengan peningkatan
enzim MMP-9 di otak yang memperburuk kondisi
leukoaraiosis.
[38]
Transient Ischemic Attack (TIA)
Transient ischemic attack (TIA), disebut juga
acute cerebrovascular syndrome (ACVS),
[39] adalah salah satu
faktor risiko dari stroke iskemik.
[40]
TIA dapat dijabarkan sebagai episode singkat disfungsi neurologis yang biasanya terjadi akibat gangguan vaskular,
[41] berupa
simtoma iskemia di
otak atau
retina yang berlangsung kurang dari 24
jam, atau kurang dari 1 jam,
[42] tanpa meninggalkan bekas berupa
infark serebral
[43] akut.
[44]
Dari sudut pandang lain, oleh karena stroke merupakan defisiensi
neurologis akibat perubahan aliran darah di jaringan otak, maka TIA
dapat dikatakan sebagai indikasi atau
simtoma yang ditimbulkan dari perubahan aliran darah otak yang tidak dapat dideteksi secara klinis dalam waktu 24 jam.
[45]
TIA tidak selalu menjadi indikasi akan terjadinya stroke di kemudian
hari, dan jarang sekali dikaitkan dengan stroke hemorragik primer. Dalam
populasi manusia yang telah beranjak tua, TIA diinduksi oleh
terhalangnya aliran darah di pembuluh darah besar terutama akibat
aterotrombosis, namun dalam penderita yang berusia di bawah 45 tahun TIA umumnya disebabkan oleh robeknya
pembuluh darah (
bahasa Inggris:
arterial dissection),
migrain dan
obat-obatan sympathomimetic. TIA juga dapat disebabkan oleh :
Namun beberapa kondisi lain dapat menimbulkan gejala yang sangat serupa dengan TIA, seperti
focal seizure activity,
migraine (?"spreading depression"),
compressive mononeuropathies (carpal tunnel syndrome. ulnar elbow compression and so forth),
sindrom Adams-Stokes,
tumor otak dengan gejala neurologik transien,
hematoma subdural,
Demyelinating disease,
hipoglisemia,
hiperglisemia,
primary ocular disease-glaucoma,
vitreal hemorrhage.
floaters and the like,
functional disorders-conversion hysteria,
malingering,
hiperventilasi.
Cardiac papillary fibroelastoma (CPF)
Dari 725 kasus CPF, 55% merupakan penderita pria dengan lokasi tumor, umumnya, ditemukan di permukaan
valvular, terutama di
katup trikuspidalis aortik, selain
katup mitralis. Tumor juga ditemukan di permukaan non-valvular, seperti di
bilik kiri. Ukuran
tumor bervariasi dari 2 mm hingga 70 mm.
[46]
Manifestasi klinis CPF meliputi stroke, infark miokardial, emboli paru, gagal jantung
congestive dan
serangan jantung mendadak.
[47] Meskipun demikian, tidak semua penderita menunjukkan simtoma demikian.
Cryptogenic cerebral infarction (CCI)
CCI paling banyak ditemukan dalam penderita
patent foramen ovale baik yang disertai maupun tidak disertai
septal aneurysm.
[48][49] Sejak tahun 1989, CCI merupakan penyebab 40% kasus stroke iskemik. 4,9% pria dan 2,4% wanita mengalami
mutasi genetik galaktosidase-alfa yang merupakan indikasi
penyakit Fabry, sedangkan studi lain menunjukkan keterkaitan dengan
trombofilia.
[50] Lintasan patogenesis CCI diperkirakan meliputi aterosklerosis di pembuluh nadi otak, baik yang bersifat
intrakranial seperti
moderate middle cerebral artery stenosis,
ekstrakranial seperti
vertebral artery origin stenosis atau
proksimal seperti
thick plaques in the aortic arch yang selama ini dianggap tidak berkaitan dengan patogenesis stroke.
[51]
Patent foramen ovale (PFO)
Sindrom platipnea-ortodeoksia merupakan kondisi yang jarang terjadi dengan simtoma berupa
dispnea dan
desaturasi arterial. PFO merupakan salah satu bentuk sindrom platipnea-ortodeoksia dengan peningkatan
ortostatik di area defisiensi atrial septal.
[52] Hasil diagnosa PFO yang sering ditemukan pada CCI dan
migrain, juga diperkirakan sebagai penyebab
emboli pada penderita
tromboembolisme arterial.