Klasifikasi Miastenia gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB)
of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA):
1.
Klas I,
kelemahan otot okular dan gangguan menutup mata, otot lain masih normal
2.
Klas II, kelemahan
ringan pada otot selain okular, otot okular meningkat kelemahnnya
3.
Klas IIa,
mempengaruhi ekstermitas, sedikit mempengaruhi otot-otot oropheringeal
4.
Klas IIb,
mempengaruhi otot-otot pheringeal dan pernafasan juga ekstermitas
5.
Klas III,
klemahan sedang pada otot selain okuler, meningkatnya kelemahan pada otot
okuler
6.
Klas IIIa,
memepengaruhi ekstermitas, sedikit mempengaruhi otot-otot pharyngeal
7.
Klas IIIb,
mempengaruhi otot-otot pharyngeal dan pernafasan juga ekstermitas
8.
Klas IV,
kelemahan berat pada selain otot okuler, kelemahan berat pada otot okuler
9.
Klas IVa,
mempengaruhi ekstermitas, sedikit pengaruh pada otot-otot oropharingeal
10. Klas IVb, terutama mempengaruhi otot-otot pernafasan dan oropharingeal
juga ekstermitas
11. Klas V, pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus
post-operativ)KOMPLIKASI
Apabila terdapat perburukan dari Miastenia
gravis tentunya akan memunculkan beberapa komplikasi yang bermakna, selain
diperoleh dari risiko yang mungkin meningkatkan keparahan penyakit ini,
pengobatan dan perawatan yang terlambat juga bermakna pada tejadinya perburukan
kondisi (Corwin, 2009). Beberapa komplikasi yang dapat muncul
diantaranya:
1. Krisis miasnetik
Ditandai dengan pemburukan fungsi otot rangka yang berakibat
pada gawat nafas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi
lumpuh.
2. Krisis kolinergik
Merupakan respon toksik yang ditemukan pada penggunaan obat
antikolinesterase yang terlalu banyak. Tanda hiperkolinergik ditandai dengan
peningkatan motilitas usus, berkeringat dan diare.
G.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DAN
PENUNJANG
Penegakan
diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut
(Ngurah, 1991) :
1. Penderita ditugaskan untuk
menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya
bertambah lemah dan menjadi kurang terang, penderita menjadi anartris dan
afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk
mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis.
Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita
disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan
ptosis juga tidak tampak lagi.
3. Uji Tensilon (edrophonium
chloride), untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena,
bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara
intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot
yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan
segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan
sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
4. Uji Prostigmin (neostigmin),
pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
5. Uji Kinin, diberikan 3
tablet kinina masing-masing 200 mg, 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi
(masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan
bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin,
agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
Pemeriksaan
penunjang untuk diagnosis pasti:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Anti-asetilkolin reseptor
antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini
dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat
hasil yang positif pada 74% pasien, 80% dari penderita miastenia gravis
generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan
hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma
tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody (Howard, 2008).
b) Antistriated muscle
(anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes
yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif
pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40
tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun,
anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
c) Anti-muscle-specific kinase
(MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita
miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis
seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
d) Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien
dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational
pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan
epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu
dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda.
Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaan yang kuat akan
adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.
2. Imaging
a) Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam
posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat
diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum
b) Chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma
pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
c) MRI pada otak dan orbita
sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan
apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
3. Pendekatan
Elektrodiagnostik, dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular
melalui 2 teknik :
a) Repetitive Nerve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia gravis
terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak
terdapat adanya suatu potensial aksi.
b) Single-fiber Electromyography (SFEMG), menggunakan jarum single-fiber,
yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat
mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial
diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber
density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam
oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular
fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.
0 komentar:
Posting Komentar