Sebelum cerita gue semakin panjang, ada setidaknya 7 bahaya sinetron bagi perkembangan anak.
1. Kelumpuhan berpikir kritis dan melemahkan kognitif
Episode berkepanjangan yang membuat penonton penasaran, membuat otak
menjadi kian pasif. Bagaimana tidak, banyak anak yang mungkin
mengalihkan hobinya untuk menonton sinetron. Gue sendiri punya keponakan
yang tadinya hobi membaca komik, lalu mulai melupakan hal itu karena
sinetron. Dengan terus menerus menatap layar kaca selama satu jam bahkan
lebih setiap harinya, tentu bisa saja merusak kecerdasan otak sebelah
kanan. Ini nggak cuma terjadi sama anak kok.
Ayolah ngaku, siapa di antara kalian yang hobi nonton serial Uttaran sampai-sampai lalai bekerja di siang hari. Sembari masak, menyetel Uttaran yang
penuh dengan luapan emosi. Padahal, orang-orang dewasa tentu tau kalo
sinetron ya, begitu-begitu saja dan itu hanyalah suatu hiburan. Meski
memiliki pesan moral, tetap saja minim mengasah intelektual karena
sinetron tidak merangsang anak untuk berpikir.
2. Lebih tua dari usianya
Bagaimanapun, penampilan adalah hal yang menimbulkan impresi bagi orang
lain. Cara berpakaian akan mencitrakan sifat dan sikapnya. Anak-anak
yang gemar menonton sinetron cenderung suka berpakaian yang membuat
mereka terlihat lebih tua. Belum lagi, fakta yang menunjukkan bahwa anak
di bawah umur hobi ber-make up agar bisa tampil seperti
artis-artis dalam sinetron tersebut. Padahal, ini tidak sesuai dengan
usia mereka apalagi kita tinggal di Indonesia.
3. Bertutur tanpa aturan
Jangan pernah menyalahkan anak yang berkata kasar atau melontarkan
kata-kata yang tidak patut jika kita masih membiarkan mereka menonton
sinetron tanpa pengawasan. Mungkin memang, kata-kata tersebut bukan
muncul kali pertama dari sinetron. Namun, jika kata-kata tersebut
dilontarkan oleh pemain sinetron, tentu ini bisa mewabah karena bisa
ditonton siapapun.
Sinetron yang banyak menelurkan istilah-istilah sumber: www.ceritamu.com |
Banyak lho, istilah-istilah yang merebak karena sinetron. Contohnya,
"kamseupay iyewh" yang merujuk pada "kampungan". Istilah ini sering
digunakan sejak sinetron Putih Abu-Abu di tahun 2013. Kadang suka
geli kalo ada bocah yang pake istilah-istilah kayak gini saat lagi
berbicara. Mulutmu adalah hasil isi kepalamu. Bantulah anak memfilter
apa yang sebaiknya mereka ambil dari sebuah sinetron dan apa yang tidak
layak.
4. Susah bersosialisasi
Kisah-kisah sinetron zaman sekarang banyak menceritakan perseteruan antar geng di sekolah. Sebut saja yang sedang tayang, ada Anak Jalanan (RCTI) dan Mermaid in Love (SCTV). Kerap mem-bully satu
sama lain dan juga terkesan mengelompok, ini bisa mempengaruhi anak
menjadi sulit sensitif terhadap orang baru. Merasa kelompoknya lebih
baik dan memberi rasa aman.
5. Hanyut dalam karakter dan alur cerita
Remaja di bawah umur sangat rentan terbawa dalam kisah sebuah sinetron. Bagaimana para fans Prilly Latuconsina dan Aliando Syarief menginginkan mereka benar-benar pacaran setelah efek peran Sisi-Digo pada sinetron Ganteng-Ganteng Serigala?
Nggak jarang, mereka mengimpikan kisah cinta seperti yang Jessica
Milla-Kevin Julio ataupun Prilly-Aliando alami di sinetron tersebut.
Betapa banyak remaja Indonesia yang masih duduk di bangku SMP, yang
lebih mendambakan pelukan hangat sang pacar ketimbang mendapat prestasi
baik akademis maupun non-akademis.
Dalam Uttaran, tokoh Tapasya dan Frans pernah melakukan percobaan
bunuh diri karena gagal mendapatkan orang yang mereka cintai. Ini bisa
menanam pesan kalo kematian adalah cara menyelesaikan masalah ataupun
membalaskan dendam. Gue bukannya bilang pacaran atau cinta-cintaan itu
nggak boleh, tapi sinetron kini banyak menjual kisah cinta yang
berlebihan untuk menarik penontonnya.
Uttaran dan segala problemanya sumber: solopos.com |
6. Benih-benih permusuhan, kekerasan, bahkan pornografi
Dulu ada tuh, berita yang sempat booming soal anak yang loncat
dari lemari karena merasa dirinya adalah Superman. Sama halnya dengan
berbagai adegan kekerasan secara verbal dan non-verbal yang ada di
sinetron. Perkelahian yang dilakukan di sinetron memanglah rekayasa,
tapi menjadi realistis bagi penontonnya. Kesal ketika melihat Boy
dikeroyok oleh Geng Kobra, pasti pernah dialami para remaja penikmat Anak Jalanan. Meskipun pada akhirnya, Anak Jalanan
memperhalus ceritanya karena sempat ditegur KPAI dan juga menambahkan
banyak unsur ibadah juga belajar, ini tidak menghapuskan unsur kekerasan
dalam sinetron tersebut.
Nyokap gue sampai pernah nanya, "Apa ada ya, remaja yang hobinya motor-motoran, nongkrong di warkop tiap hari? Kalo ada, kasian orangtuanya." Hmmm, menurut lo gimana?
Anak Jalanan yang sering menduduki peringkat pertama di jajaran tayangan televisi sumber: duniaku.net |
Sinetron kini juga menayangkan betapa beraninya muda-mudi masa kini
mengekspresikan diri. Nggak suka sama gaya temen lo? Labrak aja, hajar
aja. Membuat anak-anak bisa merasa gagah-gagahan dan lebih jago dari
teman seusianya. Mau dianggap kece? Makin mini makin asyik. Tentu
perkelahian dan gap yang anak-anak atau remaja tonton di sinetron menimbulkan rangsangan untuk menjadi lebih agresif.
7. Menjadi parameter identifikasi remaja
Berunsur kemewah-mewahan, gaya hidup ke-Barat-Barat-an, dan nuansa
hedonisme adalah hal umum yang kita jumpai di sinetron
sekarang. Sinetron sebagai agen sugesti memunculkan banyak konsep-konsep
di kepala anak. Misalnya, pacaran di masa sekolah adalah kegiatan yang
menyenangkan. Anak perempuan itu cantik kalo berkulit putih, kurus, dan
berambut lurus. Gaul itu dengan menggunakan kosakata-kosakata yang
sedang hip. Inilah akar-akar yang membuat anak menginginkan gaya hidup
tertentu, seperti merengek ingin gadget trendi, melakukan diet ekstrim, atau memburu obat-obat pemutih yang sekarang dijajakan banyak orang.
Itulah 7 bahaya sinetron bagi perkembangan anak. Masih ada yang lain? Masih, tapi nggak cukup untuk gue jabarkan semua di sini.
Beberapa anak menonton sinetron sebagai baby sitter atau teman mereka di rumah karena sibuknya orangtua bekerja. Mereka duduk berjam-jam di depan televisi, padahal itu sangat bisa mengganggu fisik dan psikisnya. Hasrat ketergantungan membuat mereka rela berdiam diri untuk menonton pemeran favoritnya. Cium pipi sembarangan dibilang so sweet. Punya pacar keren di sekolah biar jadi yang paling populer. Kita tidak bisa menampik bahwa jenis peran yang dimainkan oleh para artis kerap berlawanan dengan norma pergaulan masyarakat Indonesia dan belum sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi anak.
Beberapa anak menonton sinetron sebagai baby sitter atau teman mereka di rumah karena sibuknya orangtua bekerja. Mereka duduk berjam-jam di depan televisi, padahal itu sangat bisa mengganggu fisik dan psikisnya. Hasrat ketergantungan membuat mereka rela berdiam diri untuk menonton pemeran favoritnya. Cium pipi sembarangan dibilang so sweet. Punya pacar keren di sekolah biar jadi yang paling populer. Kita tidak bisa menampik bahwa jenis peran yang dimainkan oleh para artis kerap berlawanan dengan norma pergaulan masyarakat Indonesia dan belum sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi anak.
"Kan bisa diambil sisi positifnya, sih...."
Iya, bisa diambil sisi positifnya bagi orang dewasa atau memang remaja
dengan cara berpikir yang lebih dewasa. Namun, jika konten yang
ditawarkan bukan konsumsi pada usianya, ini bisa menjadi senjata pikiran
yang sangat bahaya. Perubahan perilaku sangat mungkin untuk terjadi.
What they see is what they do
Sinetron Mermaid in Love rata-rata diperankan oleh remaja usia 16
tahun. Tentunya, penggemar mereka ada di rentang usia lebih muda. Topik
utama dari kisahnya adalah seorang cowok yang jatuh cinta pada putri
duyung. Oke, lagi-lagi cinta. Kisahnya selalu sama, nggak jauh-jauh dari
cowok yang jadi rebutan atau sebaliknya. Sinetron ini termasuk berani
dalam penggunaan kostum mermaid yang menurut gue kurang nyaman
untuk dilihat (setiap kali dia bergerak, memungkinkan area dada terlihat
jelas). Padahal, di berbagai pagelaran misalnya, selebritis perempuan
sampai harus menggunakan kaus lengan panjang berwarna mirip dengan kulit
ketika mengenakan pakaian jenis kemben. Atau kalo tidak yaa..., kena
sensor.
Upsss.... sumber: www.hotmagz.com |
Putri duyung dalam Doraemon pun turut disensor sumber: www.hotmagz.com |
Tokoh utama Mermaid in Love (R.I.P. desain grafis) sumber:sctv.co.id |
Diduga mengadaptasi drama korea Surplus Princess (kiri) - Mermaid in Love (kanan) sumber: wowkeren.com |
Dengan kemudahan teknologi, ini semakin menambah fenomena di kalangan anak, yaitu men-stalking pemeran sinetron. Coba saja cek akun media sosial ABG artis sinetron, penuh komentar fans (yang
sama ABG-nya dengan mereka). Baik komentar dukungan maupun saling sikut
antarpenggemar. Ini bisa menjadi acuan bahwa sinetron begitu menyentuh
jiwa anak-anak yang menikmatinya.
Ada juga kok, sinetron seperti Aku Anak Indonesia yang topik
utamanya adalah mimpi dan pendidikan. Walaupun, realitanya sinetron yang
fokus pada konflik cinta dan drama keluarga lebih laris manis daripada
sinetron bertema pendidikan. Ini terbukti dengan rate dan share yang tinggi.
Sinetron bertema pendidikan dan mencintai negara Indonesia |
Sinetron sebagai refleksi perilaku remaja sekarang atau remaja sekarang merefleksikan isi tayangan sinetron.
Ah ya, bukannya dengan ini gue mengajak kalian nggak nonton sinetron
apalagi mendiskreditkan judul-judul sinetron yang gue tuliskan. Namun,
alangkah baiknya orangtua mengaktifkan perannya dalam pengawasan anak.
Bukankah itu sudah menjadi prioritas? Terlalu sia-sia untuk mengecam
atau membenci tayangan sinetron karena toh itu memanglah sebuah
industri di mana keuntungan menjadi salah satu patokan utama. Belum
lagi, sinetron-sinetron ini ditayangkan pada jam prime time di
mana memungkinkan anak menonton. Nggak ada salahnya untuk melakukan
budaya sensor mandiri seperti apa yang sedang diusung oleh LSF RI (Lembaga Sensor Film Republik Indonesia).
Mari kita laksanakan self-censorship atau swasensor, menjadikan
kita bertanggung jawab guna memilih dengan sadar berbagai program dan
tayangan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak.
0 komentar:
Posting Komentar