Lucia Tyas awalnya merasakan nyeri di persendiannya setiap pagi. Hal ini terjadi sejak tahun 1993.
"Jari-jari
juga kaku, bengkak, rambut rontok, lebam di kulit, radang tenggorokan,
semuanya tidak terjadi secara bersamaan sehingga dokter sulit
mendiagnosa apa sebetulnya penyakit saja," kisahnya.
Selama
hampir 10 tahun malang-melintang dari satu dokter ke dokter lain, baik
di Jakarta, Magelang maupun Yogyakarta, ia tak menemukan diagnosis yang
memuaskan. Rata-rata dari mereka hanya mengatakan Lucia kelelahan dan
stres, sehingga butuh istirahat total.
Barulah di tahun 2010,
Lucia mendapati rambutnya mulai rontok hebat, disertai kelelahan yang
luar biasa dan mulai sering pingsan.
"Kelelahan luar biasa tapi
istirahat pun tak sembuh juga. Lalu bulan Mei 2010, saya memutuskan
minta opname, karena saya takut kena cancer," kisahnya di sela-sela
acara peringatan World Lupus Day 2016 di Gedung Diklat RSUP Dr Sardjito,
Selasa (10/5/2016).
Tetapi karena tidak ditemukan apa-apa, Lucia
diminta pulang kembali. Namun baru sepekan di rumah, kondisi Lucia
lagi-lagi memburuk. Ketika dibawa ke IGD, barulah ketahuan jika
hemoglobin (Hb)-nya tinggal 7.
"Oleh konsultan penyakit dalamnya
dilakukan tes, dari situ muncul kecurigaan ke lupus. Kebetulan beliau
sering menangani kasus lupus. Jadi saat dilakukan ANA test dan hasilnya
positif, saya akhirnya didiagnosis dengan lupus," lanjutnya.
Lucia
resmi 'hidup bersama' lupus sejak bulan Juni 2010, namun ia tidak
lantas bisa berdamai dengan keadaan. Hingga dua bulan berikutnya, ia
memutuskan mendatangi seorang dokter spesialis penyakit darah di
Jakarta. Di situlah ibu dua anak itu mulai bisa menerima kondisinya, dan
memulai terapi pengobatan.
"Saya tidak tahu dan tidak pernah browsing soal lupus. Bahkan ketika didiagnosis, saya sempat tidak terima," tambahnya.
Apalagi
Lucia tergolong sebagai pasien lupus dengan kasus yang parah (severe)
dan menyerang darah, yaitu Autoimune Hemolitic Anemia, disertai dengan
komplikasi seperti arthritis, kebocoran ginjal, dan infeksi paru-paru.
Lucia
mengaku selama enam tahun belakangan, perjuangannya melawan lupus juga
mengalami pasang-surut. Sempat remisi di kisaran tahun 2011, di tahun
2012, kondisinya memburuk karena munculnya komplikasi.
"Saya
mengalami kebocoran ginjal hingga harus menjalani semacam kemoterapi,
tetapi malah kritis. Ternyata saya terserang herpes zooster dan terapi
harus dimulai dari awal lagi," ujarnya.
Terhitung mulai dua tahun
lalu, gejala lupus Lucia sudah stabil atau terkendali, dan ia hanya
perlu meminum obat dengan dosis rendah.
"Tapi dari pengalaman
saya menjadi odapus selama 6 tahun terakhir, saya termotivasi untuk
membantu odapus lain agar bisa survive. Bergabung dengan kelompok
pendukung adalah salah satu cara hidup sehat bersama lupus, karena
berjuang bersama akan lebih mudah daripada sendirian," tekadnya.
Lucia juga sering mengadakan kumpul komunitas penyandang lupus di rumahnya di Mlati, Sleman, sembari berkegiatan bersama.
Untuk
bisa hidup bersama lupus, alumni Pascasarjana Ilmu Akuntansi
Universitas Gadjah Mada itu juga berpesan agar setiap Odapus menjalani
terapi farmakologis secara rutin, termasuk cek lab, konsultasi ke dokter
dan minum obat sesuai anjuran.
"Kita juga harus menerapkan pola hidup yang sehat, supaya terapi farmakologisnya efektif," imbuhnya.
Dari
pengalamannya, Lucia juga menggalakkan gerakan bernama SALURI (Periksa
Lupus Sendiri) dengan berpedoman pada panduan dari American College of
Rheumatology (ACR) 1997, di mana lupus dapat dicurigai jika ditemukan 4
dari 11 gejala yang ada.(lll/vit)
Kisah Lucia Terkena Lupus, Mulanya Hanya Nyeri Sendi Tiap Pagi
Written By iqbal_editing on Selasa, 29 Agustus 2017 | 18.25
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar