uasana rumah
tangga kadang kita rasakan begitu manis dan romantis. Tapi, pada waktu-waktu
tertentu, ada konflik yang tak terelakan terjadi antara pasangan suami istri.
Pertanyaan yang muncul: Bisakah manajemen konflik diterapkan dalam lingkungan
rumah tangga? Terkadang, karena tidak ada manajemen tersebut, sering anak-anak
yang lugu menjadi korban emosi orang tua, yang sebenarnya emosi tersebut bukan
untuk anak, tapi mungkin ditujukan ke suami atau sebaliknya. Pada suatu kasus,
ada seorang anak yang cantik, berusia 5 tahun, ketika berkumpul dengan banyak
anak dalam sebuah sekolah, anak tersebut memiliki sifat yang sangat unik.
Karakter yang melekat anak itu begitu pendiam, penakut, pemalu, pemarah dan
selalu murung serta parah juga ada pendendam, tidak ceria dan lincah nan kritis
selayaknya anak-anak. Anak itu selalu nempel dengan ibu atau ayahnya.
Sekolahpun anak tersebut belum mau ditinggal mesti sudah ada teman dan ibu
gurunya. Jika diajukan pertanyaan kepadanya pun sepatah katapun tidak
terdengar. Namun menurut orang tuanya, kalau dirumah anak tersebut jago kandang
dan banyak bicara. Jika ditanya oleh orang tuanya: “mengapa tidak mau bergaul
dan bicara dengan kawan-kawannya?”, anak itu menjawab: "malu". Bapak
si anak tersebut pernah mencurhatkan bahwa rumah tangganya selalu ramai dengan
suara nyanyian istrinya (marah-marah) setiap hari. Kadang nyanyian itu
berkumandang subuh, tengah hari, habis isya bahkan pernah jam 3 malam. Tabuh
nyanyian akan semakin ramai jika sang suami meladeni nyanyian istri tersebut.
Kejadian tersebut terjadi setiap hari. Siapa yang menjadi korban? Nomor satu
adalah anak mereka, dan nomor dua adalah tetangga. Tetangga menjadi mengerti
persoalan dan konflik suami istri tersebut. Hal-hal yang kecilpun tidak luput
menjadi bahan nyanyian. Tetangga sangat terganggu dengan nyanyian mereka
sepanjang hari, serasa tidak ada kedamaian di dalam rumah itu. Pernah suatu
hari, tetangga melemparkan parang panjang di depan rumah mereka, baru mereka
diam. Terbayang, sungguh kasihan anak mereka menjadi saksi keributan orang
tuanya. Kadang anak itu sangat takut untuk melakukan suatu hal, bahkan
menjatuhkan bonekanya sendiri wajahnya langsung berubah ketakutan bila ibunya
marah. Jika mau melakukan tindakan apapun, anak sering tidak percaya diri dan
selalu tanya kepada ibunya: "Boleh nggak Ma?". Sikap tersebut secara
tidak langsung tumbuh karena anak tersebut setiap hari dilarang-larang dengan
kata-kata ibunya: "Jangan!" Dari kejadian tersebut, manajemen konflik
dalam rumah tangga hendaknya diterapkan. Tanpa bermaksud menggurui, kesabaran
memanage emosi istri terhadap suami atau sebaliknya menjadi point penting.
Menurut saya, komunikasikan secara terbuka dan dengan bahasa yang santun tanpa
tetangga satu kampung dan satu kantor tahu persoalan yang sedang dihadapi. Dan
satu lagi, jika ingin marah jangan dihadapan anak. Jika anak selalu menjadi
saksi pertengkaran orang tua, akibat psikologi yang berkepanjangan adalah anak
mudah marah, pemurung, penakut, tidak percaya diri dan dendam. Tiap hari anak
belajar dari melihat dan mendengar segala fenomena yang terjadi dimulai dari
dalam rumah. Menurut saya, menciptakan kehangatan dan kasih sayang orang tua di
dalam rumah adalah hal yang terbaik untuk menumbuhkembangkan mental anak yang
baik dan sehat. Semoga bermanfaat.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ulfahumurohmi/dampak-psikologis-anak-yang-menjadi-saksi-pertengkaran-orang-tua_55288c1bf17e6100608b45cb
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ulfahumurohmi/dampak-psikologis-anak-yang-menjadi-saksi-pertengkaran-orang-tua_55288c1bf17e6100608b45cb
0 komentar:
Posting Komentar