Pertama, hadis dari Urfujah bin As’ad radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ
Bahwa hidung beliau terkena senjata pada peristiwa perang Al-Kulab di zaman jahiliyah. Kemudian beliau tambal dengan perak, namun hidungnya malah membusuk. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menggunakan tambal hidung dari emas. (HR. An-Nasai 5161, Abu Daud 4232, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Kedua, hadis dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
لُعنت الواصلة والمستوصلة والنامصة والمتنمصة والواشمة والمستوشمة من غير داء
“Dilaknat
: orang yang menyambung rambut, yang disambung rambutnya, orang yang
mencabut alisnya dan yang minta dicabut alisnya, orang yang mentato dan
yang minta ditato, selain karena penyakit.” (HR. Abu Daud 4170 dan
dishahihkan Al-Albani).Dalam riwayat lain, dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
نهى عن النامصة والواشرة والواصلة والواشمة إلا من داء
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang orang mencukur alis, mengkikir gigi, menyambung rambut, dan
mentato, kecuali karena penyakit. (HR. Ahmad 3945 dan sanadnya dinilai
kuat oleh Syuaib Al-Arnaut).As-Syaukani mengatakan,
قوله (إلا من داء) ظاهره أن التحريم المذكور إنما هو فيما إذا كان لقصد التحسين لا لداء وعلة، فإنه ليس بمحرم
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘kecuali karena penyakit’ menunjukkan bahwa keharaman yang disebutkan,
jika tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan memperindah penampilan,
bukan untuk menghilangkan penyakit atau cacat, karena semacam ini tidak
haram. (Nailul Authar, 6/244).Berdasarkan keterangan di atas disimpulkan, semua intervensi luar yang mengubah keadaan tubuh kita hukumnya dibolehkan jika tujuannya dalam rangka pengobatan, atau mengembalikan pada kondisi normal. Dan ini tidak termasuk mengubah ciptaan Allah yang terlarang.
Lajnah Daimah untuk Fatwa dan Penelitian Islam, mendapat pertanyaan tentang hukum mencabut gigi yang rusak dan diganti dengan gigi palsu. Apakah termasuk mengubah ciptaan Allah?
Jawaban Lajnah:
لا
بأس بعلاج الأسنان المصابة أو المعيبة بما يزيل ضررها أو خلعها ، وجعل
أسنان صناعية في مكانها إذا احتيج إلى ذلك ؛ لأن هذا من العلاج المباح
لإزالة الضرر ، ولا يدخل هذا في تبديل خلق الله كما فهم السائل
“Tidak
masalah mengobati gigi yang rusak atau cacat, dengan gigi lain,
sehingga bisa menghilangkan resiko sakit, atau melepasnya kemudian
diganti gigi palsu, jika dibutuhkan. Karena semacam ini termasuk bentuk
pengobatan yang mubah, untuk menghilangkan madharat. Dan tidak termasuk
mengubah ciptaan Allah, sebagaimana yang dipahami penanya.” (Fatawa
Lajnah, 25/15).Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibn Utsaimin. Beliau ditanya tentang hukum gigi palsu, untuk menggantikan gigi yang rontok. Jawaban beliau,
يجوز
للإنسان إذا سقطت أسنانه أن يستعيض عنها بأسنان أخرى صناعية ؛ لأن ذلك من
إزالة العيب ، كما أذن الرسول صلى الله عليه وسلم لأحد الصحابة رضي الله
عنهم الذي انقطع أنفه أن يتخذ أنفاً من فضة فأنْتن ، فأذن له أن يتخذ أنفاً
من ذهب ، فاتخذ أنفاً من ذهب . كذلك أيضاً الأسنان إذا سقطت فللإنسان أن
يضع بدلها أسناناً صناعية ، ولا حرج عليه في ذلك
“Boleh bagi seseorang ketika ada giginya yang rontok, untuk diganti dengan gigi palsu,
karena semacam ini termasuk bentuk menghilangkan cacat tubuh.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan salah
seorang sahabat yang terpotong hidungnya, untuk menambal hidungnya
dengan perak. Namun malah membusuk. Kemudian beliau mengizinkan menambal
hidungnya dengan emas. Demikian pula gigi. Ketika ada gigi seseorang
yang rontok, dia boleh memasang gigi palsu sebagai penggantinya, dan
hukumnya tidak masalah. (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, volume 9).Allahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar