Banyak kekhawatiran yang muncul pada diri pasangan LDR (Long Distance Relationship). Jarak
geografis yang terpaut jauh, sering kali disebut-sebut sebagai faktor
penyebab berakhirnya sebuah hubungan. Namun, mengapa hingga kini masih
banyak pasangan yang menjalani hubungan LDR ini? Adakah alasan lain yang
membuat para pejuang LDR ini tetap menjaga hubungan mereka terus
bertahan?
Ketika sebuah hubungan yang dijalani seseorang dengan pasangannya
harus terpaut jarak geografis yang jauh, kendala komunikasi yang sulit,
serta kurangnya quality time (waktu yang berkualitas untuk
bersama), sering menjadi keluhan para pasangan LDR dalam menjalani
hubungan mereka. Tidak hanya pada pasangan suami isteri berkarier,
banyak juga pasangan mahasiswa yang kini menjalani status hubungan
pacaran secara jarak jauh (LDR).
Meskipun mereka telah menanamkan komitmen dan kepercayaan (trust)
kepada pasangannya satu sama lain. Namun, rasa khawatir dan curiga pada
pasangan sering kali timbul dalam diri seseorang, yang pada akhirnya
memunculkan berbagai penilaian negatif pada pasangan, yang sebenarnya
belum tentu menjadi sebuah penilaian yang benar. Dan bahkan, akan
memungkinkan pasangan yang satu merasa sakit hati atas penilaian negatif
dari pasangan yang lain. Terlebih, ketika jarak menjadi kendala
sulitnya pasangan untuk mengkomunikasikan dan mengekspresikan perasaan
mereka masing-masing.
Karena untuk mempersepsikan perasaan melalui komunikasi mereka terbatas,
sering kali pasangan LDR yang satu akan mempersepsikan perasaan
pasangan yang lain secara kurang tepat, yang pada ujungnya akan menjadi
konflik batin dalam diri mereka sendiri. Padahal konflik batin tersebut
bukanlah konflik sebenarnya yang mereka hadapi. Melainkan, hanya
merupakan konflik yang masing-masing mereka buat sendiri.
Gejolak dalam Hubungan LDR
Para pasangan LDR menyadari bahwa jarak
fisik diantara mereka dengan pasangan merupakan suatu ketidakpastian
dalam hubungan yang mapan, Hal itu karena banyak diantara mereka yang
memiliki intensitas untuk berinteraksi yang sangat kecil. Terpaut jarak
geografis yang jauh, serta kontak (tatap muka) yang terbatas pada
pasangan LDR, akan meningkatkan tingkat ketidakpastian seseorang dalam
menjalani hubungan. Situasi yang demikian berpotensi dapat menurunkan
tingkat kepercayaan dan meningkatkan pengalaman kecemburuan mereka
terhadap pasangan.
Kecemburuan sering kali menjadi masalah utama pada pasangan LDR.
Kecemburuan biasanya dianggap sebagai multidimensi, yang terdiri dari
kecemburuan kognitif, emosional, dan perilaku (Pfeiffer & Wong,
1989). Kecemburuan kognitif mengacu pada pikiran yang mencurigakan atau
kekhawatiran tentang ancaman atas hubungan yang dijalankan. Sedangkan
kecemburuan emosional mengacu pada perasaan marah, takut, dan
ketidakamanan yang berkaitan dengan ancaman. Dan kecemburuan perilaku
mengacu pada komunikasi pikiran atau perasaan cemburu yang lebih
dikonseptualisasikan sebagai ekspresi dari sebuah kecemburuan (Pfeiffer
& Wong, 1989). Jarak fisik yang dirasakan sebagai sebuah
ketidakpastian dalam hubungan, memiliki korelasi positif terhadap
tingkat kecemburuan pada pasangan. Namun, hal tersebut memiliki korelasi
negatif terhadap tingkat kepercayaan (trust). Jadi, semakin seseorang merasa hubungannya merupakan sebuah ketidakpastian, maka tingkat kepercayaan (trust) seseorang pada pasangannya akan semakin rendah. Sehingga komitmen untuk saling menjaga diantara pasangan pun terancam turun.
Dalam studi kualitatif, individu-individu yang menjalani hubungan LDR
memiliki komentar positif mengenai kedekatan, kepercayaan, komitmen,
dan cinta (Arditti & Kauffman, 2001; Mietzner & Lin, 2005).
Mereka yang memiliki hubungan jarak jauh mempersepsikan diri, bahwa
mereka memiliki usaha yang lebih keras dalam menjalin komunikasi dengan
pasangannya dibanding teman-teman mereka yang memiliki hubungan jarak
dekat dengan pasangannya (Geograpically Close Relationship).
Sehingga mereka sangat menilai positif makna dari sebuah kedekatan,
kepercayaan, komitmen, dan cinta. Pemberian atribusi yang tepat kepada
pasangan, dalam hal ini para pejuang LDR, sangat penting untuk menjaga
agar hubungan bersama pasangan tetap bertahan dan mencapai apa yang
menjadi tujuan dan cita-cita dari hubungan itu sendiri.
Kesalahan atribusi sebagai resiko LDR
Setiap manusia hidup secara sosial yang dihadapkan pada berbagai
bentuk perilaku yang diamati, termasuk saat berinteraksi dengan pasangan
serta mengamati perilaku pasangan dan terjadilah atribusi. Atribusi
merupakan proses-proses untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab
perilaku orang lain dan kemudian diketahui tentang sifat-sifat menetap
dan disposisi mereka (Baron dan Byrne, 2003: 49). Atribusi dibedakan
menjadi dua, yaitu atribusi internal dan atribusi eksternal. Atribusi
internal (disposisional) yaitu, apabila perilaku seseorang yang diamati
disebabkan oleh faktor-faktor internal (sikap, sifat-sifat tertentu, dan
aspek-aspek internal yang lain). Atribusi eksternal (situasional),
yaitu jika perilaku yang diamati disebabkan oleh keadaan lingkungan di
luar diri orang yang bersangkutan.
Atribusi menurut Harold Kelley terfokus pada apakah tindakan tertentu
disebabkan oleh daya-daya internal atau daya-daya eksternal. Kelley
berpandangan bahwa suatu tindakan merupakan suatu akibat atau efek yang
terjadi karena adanya sebab. Kelley mengajukan tiga faktor dasar yang
digunakan dalam pemberian atribusi. Pertama, konsistensi yaitu sejauh mana seseorang merespon stimulus yang sama dalam situasi yang berbeda. Kedua, konsensus yaitu bagaimana seseorang bereaksi dibandingkan dengan reaksi orang lain, terhadap stimulus yang sama. Ketiga, kekhususan (distinctiveness) yaitu sejauh mana orang yang kita atribusi memberikan respon yang berbeda terhadap berbagai stimulus yang kategorinya lama. Distinctivness yang tinggi terjadi apabila seseorang mempunyai rekasi khusus pada suatu peristiwa. Sedangkan distinctiveness rendah apabila seseorang merespon sama terhadap stimulus yang berbeda.
Bagaimanapun, pemberian atribusi oleh seseorang juga bisa salah.
Terlebih, pada pasangan LDR yang terpaut jarak geografis yang jauh dan
keterbatasan dalam mengkomunikasikan dan mengekspresikan perasaan mereka
masing-masing. Inilah yang terkadang memicu munculnya konflik pada
pasangan LDR karena terjadi kegagalan dalam memahami dan mengatribusi
sikap atau perilaku pasangannya (fundamental attribution errors).
Kebanyakan orang juga cenderung lebih sadar pada faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi perilakunya sendiri dari pada yang
mempengaruhi perilaku orang lain. Hal ini yang sering kali membuat
seseorang menyalahkan orang lain (dalam hal ini adalah pasangan) dalam
kesalahan perilakunya sendiri. Namun, menyalahkan pasangannya sendiri
ketika pasangan melakukan kesalahan. Selain itu, seseorang juga sering
mengatribusi perilaku pribadi yang positif pada faktor-faktor internal,
dan mengatribusi perilaku pribadi yang negatif pada faktor-faktor
eksternal. Hal ini akan memunculkan sikap saling menyalahkan,
kekhawatiran-kekhawatiran dan sikap curiga pada pasangan, yang berujung
pada konflik.
Dalam hal ini, pasangan Long Distance Relationship tidak
melulu menjadikan jarak sebagai satu-satunya alasan sulitnya mereka
dalam menjalin komunikasi dengan pasangan. Sikap pribadi dan pemberian
atribusi pada pasangan merupakan salah satu hal yang lebih penting untuk
menjaga hubungan para pasangan LDR terus bertahan dan mencapai tujuan
sesuai komitmen dari hubungan itu sendiri. Melihat adanya fenomena
hubungan LDR dan teori atribusi dari Harold Kelley ini, saya
menyimpulkan ada cara yang dapat dilakukan para pasangan LDR sebagai
upaya untuk memperkecil munculnya konflik melalui teori atribusi ini.
Pertama, menilai perilaku pasangan tidak semata-mata karena
disebabkan oleh faktor internal saja. Tetapi, perilaku juga dapat
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Kedua, tidak melulu menyalahkan pihak pasangan atas kesalahan dan konflik yang terjadi. Ketiga,
lebih cermat dalam memberikan atribusi kepada pasangan agar tidak
menimbulkan sakit hati diantara dirinya dan pasangan, yaitu dengan
memperhatikan faktor-faktor, konsistensi yaitu dengan memperhatikan
apakah pasangan memberikan respon yang sama dalam situasi yang kita
ciptakan serupa. Jika pasangan memberi respon yang sama pada situasi
yang serupa, bisa jadi itu adalah sikap menetap yang dimiliki oleh
pasangan. Konsensus yaitu apakah pasangan memiliki respon yang sama
seperti orang lain pada umumnya ketika dihadapkan pada situasi yang
serupa. Jika pasangan menunjukan sikap yang berbeda, jangan terburu-buru
memberi atribusi yang negatif pada pasangan. Tetapi, terlebih dulu
mencari apa alasan atau penyebab pasangan berperilaku seperti itu.
Kekhususan (distinctiveness) yaitu melihat apakah pasangan
mempunyai reaksi yang berbeda terhadap berbagai situasi, atau merespon
semua situasi dengan reaksi yang sama. Dengan cara-cara tersebut,
diharapkan dapat memperkecil kemungkinan munculnya konflik pada pasangan
LDR akibat dari kegagalan atau kesalahan dalam memahami dan
mengatribusi sikap atau perilaku pasangannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar