Pasien berhenti atau tidak mau berobat merupakan penyebab masih
tingginya angka pengidap tuberkulosis (TB) di Indonesia. Pakar
mengungkap salah satu sebabnya adalah kuatnya stigma yang masih beredar
di masyarakat soal TB.
dr Erlina Burhan, SpP(K), Wakil Ketua
Komisi Ahli Tuberkulosis, menyebut stigma pada pasien TB biasanya datang
pertama kali dari orang terdekat, baik itu keluarga, teman atau
kerabat. Stigma bisa berupa tindakan apa saja mulai dari memisahkan
peralatan makan, alat mandi dan pakaian pasien TB hingga membuat pasien
terusir dari rumah.
"Padahal harus diketahui, TB itu penyakit
yang menular lewat udara, bukan saluran cerna atau kontak fisik. Jadi
kalau gelas, piring atau pakaiannya dipisahkan itu malah memelihara
stigma," tutur dr Erlina kepada wartawan, ditemui di RS Persahabatan,
Rawamangun, Jakarta Timur.
Stigma
pada pasien TB juga sangat rentan terjadi di tempat kerja. Dikatakan dr
Erlina, sebagian besar alasan pasien TB menolak berobat adalah takut
kehilangan pekerjaan jika diketahui berobat TB.
Soal risiko
penularan, dr Erlina mengatakan hampir 80 persen orang Indonesia pernah
terpapar kuman TB. Namun dari sekian banyak orang yang terpapar kuman,
hanya 10 persen di antaranya yang akhirnya menjadi sakit atau disebut TB
aktif.
Sisanya hanya mengalami TB laten, yakni kondisi di mana
kuman TB tertidur di dalam tubuh tubuh atau bahkan hilang sama sekali
karena sistem imun. Risiko dari TB laten menjadi TB aktif berbeda-beda
antara setiap orang.
"Jadi sistem imun itu ibarat tentara,
musuhnya kuman. Kalau kuman TB masuk tubuh dan tentaranya banyak dan
kuat, kumannya akan tidur atau mati. Ini yang disebut sebagai TB laten.
Tapi kalau kumannya banyak sementara tentara kita lagi lemah, ya bisa
jadi TB aktif," paparnya.
Oleh karena itu, jika ada anggota
keluarga, rekan atau kerabat yang mengidap TB, dr Erlina berpesan agar
jangan dijauhi dan dikucilkan. Rangkul orang tersebut dan ajak ia untuk
berobat supaya risiko penularan menjadi lebih luas.
"Ingat,
jangan dijauhi atau dikucilkan. Tapi didekati, diajak berobat dan
pastikan minum obatnya patuh. Kalau bicara risiko, semuanya berisiko,
saya tiap hari ketemua pasien TB ya berisiko. Cuma kan nggak semuanya
jadi sakit gitu lho," tutupnya.
pemisahan alat makan pasien TBC dan sendiri membuat terusir
Written By iqbal_editing on Jumat, 24 Maret 2017 | 21.51
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar