Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI menargetkan Indonesia tidak
memiliki kasus tuberkulosis (TB) baru pada tahun 2035. Program yang
disebut seabgai Zero TB 2035 ini dinilai pakar sulit terealisasi tanpa
adanya kerjasama lintas sektor.
dr Erlina Burhan, SpP(K), Ketua
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Jakarta, mengatakan Zero TB
2035 tidak akan berhasil jika hanya sektor kesehatan saja yang bekerja.
Penanganan yang komprehensif dan lintas sektor harus dilakukan jika
target ingin terwujud.
"Sebetulnya Indonesia ini orangnya
pintar-pintar dan jago analisis. Bikin regulasi, bikin modul, bikin
pedoman semuanya sangat bagus. Masalahnya kita lemah di implementasi,"
tutur dr Erlina kepada warwatan, ditemui di RS Persahabatan, Rawamangun,
Jakarta Timur.
Baca juga: Indonesia Darurat TB, Pakar Sebut Jumlah Pasien Drop-out Masih Tinggi
Dikatakan dr Erlina, pengentasan TB tidak bisa dilakukan oleh sektor
kesehatan sendirian. Dokter dan rumah sakit menurutnya, hanya memiliki
kemampuan untuk mendeteksi penyakit, memberikan diagnosis dan berusaha
semaksimal mungkin agar pasien sembuh.
Namun untuk TB yang
sebagian besar pasiennya berobat rawat jalan, dokter dan rumah sakit
tidak memiliki kewenangan ketika pasien sudah di rumah. Apalagi salah
satu penyebab gagalnya pengobatan TB adalah pasien yang tidak patuh saat
berobat atau bahkan putus pengobatan.
"Karena itu butuh sektor
public health di sini, puskesmas misalnya yang memantau apakah pasien
teratur dan rutin minum obat. Dibutuhkan juga keterlibatan Pemerintah
Daerah melalui lurah, terutama lurah di daerah kantong TB, untuk
memastikan warganya minum obat dengan patuh," papar dokter yang juga
Wakil Ketua Komisi Ahli Tuberkulosis ini.
Di lain pihak,
keterlibatan Kementerian dan Dinas Sosial juga tak boleh ditinggalkan.
Berdasarkan pengalamannya praktik, masih banyak pasien TB yang tak bisa
pergi ke RS untuk berobat karena tak memiliki ongkos atau lebih memilih
bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Terakhir, adanya
keterlibatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dari sisi
promosi dan prevensi menurut dr Erlina sangat penting. Dengan
mengirimkan SMS blast atau pesan singkat, masyarakat dapat memiliki
informasi yang lebih baik soal TB.
"SMS blast seperti yang
menyuruh orang nyoblos di Pemilu itu kan metodenya bagus mengingatkan
orang untuk memilih. Nah dengan TB bisa juga, misalnya bagi yang awam
diberi beberapa informasi dan keutamaan pemeriksaan dini," ungkapnya.
"Sementara untuk pasien, bisa digunakan sebagai pengingat atau reminder untuk minum obatnya," tutupnya
alasan target indonesia zero TBC sulit dicapai
Written By iqbal_editing on Jumat, 24 Maret 2017 | 23.56
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar