KEMBANGAN
teknologi telah mengantarkan dunia kedokteran, khususnya bedah, kepada
efektivitas dan efisiensi. Teknik bedah minimal invasif laparoskopi,
misalnya, menjadi alternatif dari bedah konvensional.
Awalnya bedah laparoskopi dilakukan untuk bedah digestif (bedah bagian
perut dan saluran pencernaan). Namun, kasus penyakit yang paling sering
ditangani dengan teknik itu adalah laparoscopic cholecystectomy
(pengangkatan kantong empedu) dan laparoscopic appendectomy
(pengangkatan usus buntu yang meradang). Selain itu, bedah laparoskopi
juga bisa diterapkan untuk kasus perlengketan usus, tumor usus,
obesitas, hernia, dan kelenjar getah bening.
Menurut spesialis bedah saluran cerna dr Errawan R Wiradisuria SpB(K)BD,
penderita batu pada kantong empedu biasanya datang dengan keluhan
dispepsia (mirip sakit mag), yakni perut kembung, sakit pada ulu hati
yang menjalar ke punggung, banyak sendawa, dan banyak buang angin.
''Karena keluhan yang mirip sakit mag itu, pasien biasanya hanya minum
obat mag. Namun jika gejalanya terjadi terus-menerus selama tiga bulan,
walaupun sudah minum obat-obatan, biasanya pasien diperiksa lebih jauh
dengan USG. Dari situ, baru akan ketahuan apakah ada batu pada kantong
empedunya,'' kata dr Errawan pada media edukasi tentang bedah minimal
invasif (bedah laparoskopi) di Rumah Sakit Internasional Bintaro
Jakarta, beberapa waktu lalu.
Jika ada indikasi untuk operasi, lanjutnya, pasien akan dianjurkan untuk
operasi, terutama bila memungkinkan operasi laparoskopi. Pasien
pertama-pertama akan dijelaskan mengenai penyakitnya, prosedur
pengoperasian, risiko, efek-efeknya, dan keuntungan-keuntungannya.
''Jika kondisi pasien ternyata tidak memungkinkan untuk dilakukan bedah
laparoskopi, prosedur pengoperasian akan dikonversikan ke bedah
konvensional. Konversi bisa terjadi karena dua hal. Pertama, karena
riwayat penyakit pasien. Kedua, konversi yang tidak diduga yakni terjadi
karena keadaan darurat.
Prosedur
Lebih lanjut, dokter yang bertugas di RS Internasional Bintaro itu
menjelaskan prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi
konvensional. Pasien harus puasa empat hingga enam jam sebelumnya,
dibuat banyak buang air besar agar ususnya kempis. Sebelum puasa pun
pasien laparoskopi akan diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang
mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di
saluran cerna. Kemudian pasien akan dibius total.
''Setelah pasien tertidur, tindakan operasi pertama yang dilakukan
membuat sayatan di bawah lipatan pusar sepanjang 10 mm, kemudian jarum
veres disuntikkan untuk memasukkan gas CO2 sampai batas kira-kira 12-14
milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO2 itu, perut pasien akan
menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan menciptakan
ruang di dalam perut untuk pengoperasian,'' jelas dr Errawan.
Setelah perut terisi gas CO2, tambahnya, alat trocar dimasukkan. Alat
itu seperti pipa dengan klep untuk akses kamera dan alat-alat lain
selama pembedahan. Ada empat trocar yang dipasang di tubuh. Pertama,
terletak di pusar. Kedua, kira-kira letaknya 2-4 cm dari tulang dada
(antara dada dan pusar) selebar 5-10 mm. Trocar ketiga dipasang di
pertengahan trocar kedua agak ke sebelah kanan (di bawah tulang iga),
selebar 2-3 atau 5 mm. Trocar keempat, bilamana diperlukan, akan
dipasang di sebelah kanan bawah, selebar 5 mm.
''Melalui trocar inilah alat-alat, seperti gunting, pisau ultrasonik,
dan kamera, dimasukkan dan digerakkan. Trocar pertama berfungsi sebagai
'mata' dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera. Dokter akan melihat
organ-organ tubuh kita dan bagian yang perlu dibuang melalui kamera
tersebut yang disalurkan ke monitor. Sementara itu, trocar kedua sampai
keempat merupakan trocar kerja,'' kata dr Errawan menjelaskan tayangan
video yang merekam jalannya operasi pengangkatan batu empedu.
Dalam tayangan video itu pun terlihat bagaimana jarum untuk menjahit
organ-organ yang dipotong atau mengalami pendarahan dimasukkan melalui
trocar. Selain itu, ada pula klip-klip dari titanium, yang aman dan bisa
digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi menyambungkan dua
bagian yang terpisah.
''Klip dari titanium akan dipasang dalam tubuh secara permanen, seumur
hidup. Sebelumnya, kita harus mengatakan kepada pasien dan keluarganya
kalau ada benda asing yang akan ditinggalkan di dalam tubuh pasien,"
jelas dr Errawan.
Bahkan bekas sobekan tersebut, tambahnya, tidak perlu dijahit, dan hanya
menggunakan lem yang disebut human skin glue. Masa pulihnya pun lebih
cepat, yaitu sekitar tiga hari, pasien sudah diperbolehkan pulang.
Risiko
Operasi laparoskopi, kata dr Errawan, biasanya berlangsung sekitar 20
menit sampai dua jam, tergantung tingkat kesulitan tiap orang. Adapun
risiko yang mungkin terjadi ketika operasi berlangsung adalah
perlengketan akibat infeksi yang berulang.
Infeksi bisa disebabkan pengobatan yang tidak tuntas sebelum operasi.
Sementara itu, perlengketan berarti organ-organ yang menempel harus
dipisahkan dan itu bisa mengakibatkan perdarahan.
''Risiko ini bisa berasal dari tiga pihak. Pertama pihak pasien yaitu
adanya penyakit atau infeksi yang tidak ditangani secepatnya. Kedua dari
pihak dokter yaitu kemampuannya menguasai teknik laparoskopi. Ketiga,
faktor alat-alat, termasuk rumah sakit, apakah alat-alat itu sudah rusak
atau lama.
Di hadapan para wartawan, dr Errawan mengatakan bedah laparoskopi
sebetulnya sudah ada di Indonesia sejak 1991. Pembedahan pertama kali
dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo.
Hingga saat ini, perkembangan alat-alat laparoskopi semakin maju,
meliputi penggunaan monitor high definition yang membuat gambar tampak
lebih jelas. Ada pula lampu kamera yang terang, tapi tidak panas. Alat
pemotong yang digunakan adalah gunting atau pisau ultrasonik yang jika
digunakan tidak akan menyebabkan perdarahan.
Soal biaya, ujarnya lagi, prosedur laparoskopi memang lebih mahal
daripada bedah konvensional yakni bisa mencapai tiga kali lipat dari
biaya bedah konvensional. Hal itu disebabkan teknologi dan alat-alat
yang digunakan sudah lebih canggih dan hanya sekali pakai.
''Namun jika dihitung secara keseluruhan sampai biaya perawatan
pascaoperasi, biaya yang dikeluarkan hampir sama. Perawatan pascabedah
laparoskopi hanya dua sampai tiga hari, sedangkan pada bedah
konvensional perawatan penyembuhan pascaoperasi bisa mencapai lima hari
sampai seminggu. Ini yang membuat bedah laparoskopi lebih efektif,''
urainya.
Namun, kata dr Errawan, belum semua dokter bedah saluran cerna bisa
melakukan prosedur bedah minimal invasif. Bahkan para dokter bedah harus
mengikuti pelatihan khusus untuk bisa melakukan bedah laparoskopi.
Hingga saat ini, sudah ada sekitar 80 dokter yang sudah bisa melakukan
bedah laparoskopi di Indonesia, sedangkan di Jakarta ada sekitar 40
dokter yang sudah bisa menangani operasi itu
lapranoskpoi pada batu empedu
Written By iqbal_editing on Kamis, 29 September 2016 | 14.11
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar