Demi menggalang kesatuan pandangan dalam konsep penerapan
ilmu bedah digestif yang amat dinamis, diperlukan suatu wadah untuk
menuangkan pengembangan ilmu bagi para spesialis bedah yang mencurahkan
sebagian besar waktunya untuk pekerjaan dalam bidang bedah digestif.
Tentu saja semua itu juga bertumpu pada harapan untuk ikut meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Maka pada tanggal 09 Juni 1979 di Denpasar
Bali, 28 orang spesialis bedah bersepakat untuk mendirikan perkumpulan
yang menghimpun subspesialis bedah digestif di Indonesia. Perkumpulan
itu diberi nama Ikatan Ahli Bedah Digestif Indonesia dan disingkat
menjadi IKABDI. Perkumpulan ini bertekad untuk memelihara, memupuk,
meningkatkan, dan mengembangan ilmu bedah digestif untuk diamalkan demi
kebahagiaan masyarakat melalui pendidikan dan pelayanan bedah digestif.
Sejak berdiri tahun 1979 hingga 1995, pengurus pusat IKABDI
diketuai oleh Prof. R. Sjamsuhidajat dan dibantu oleh dokter Ibrahim
Achmadsyah dan dokter Hermansyur Kartowisastro yang masing-masing
bertindak sebagai sekretaris dan bendahara. Periode kepemimpinan
selanjutnya pada tahun 1995-1977, ketua dijabat oleh dokter Ibrahim
Achmadsyah dan dibantu oleh dokter Toar Lalisang sebagai sekretaris dan
dokter Hermansyur Kartowisastro sebagai bendahara. Dari tahun 1997
sampai dengan sekarang ketua dijabat oleh dokter Warko Karnadihardja,
sementara sekretaris I dijabat oleh dokter Errawan Wiradisuria,
sekretaris II oleh dokter Reno Budiman, dan bendahara oleh dokter Yayat
Ruchiyat.
Sejak didirikan, IKABDI telah mengadakan muktamar sebanyak 10 kali, yaitu :
-
Palembang pada tahun 1986
-
Manado pada tahun 1989
-
Ujung Pandang (Makassar) pada tahun 1992
-
Palembang pada tahun 1995
-
Malang pada tahun 1998
-
Semarang pada tahun 2001
-
Manado pada tahun 2003
-
Batu-Malang 2005
-
Makassar pada tahun 2008
-
Jakarta pada tahun 2011
Dewan pembina keahlian dibentuk pada tahun 1979 yang
kemudian pada tahun 1991 menjadi Kolegium Ilmu Bedah Digestif. Kolegium
ini dipimpin oleh Prof.R. Sjamsuhidajat dengan Prof. John Pieter dari
Makassar, Prof. Aryono Djuned Pusponegoro dari Jakarta, dokter Abdus
Sjukur dari Surabaya, dan dokter Warko Karnadihardja dari Bandung
sebagai anggota.
Pendidikan subspesialisasi bedah digestif dipusatkan di
Bandung, Jakarta, Surabaya dan Makassar. Sementara itu Semarang dan
Medan sudah memiliki trainee atau fellow
tetapi program pendidikannya masih belum penuh. Peserta didik masih
diminta untuk menyelesaikan program di pusat yang sudah mandiri. Sampai
dengan semester ganjil tahun 2004 telah dihasilkan 111 dokter
subspesialisasi bedah digestif baru.
Ilmu bedah digestif, seperti ilmu bedah lainnya, mempunyai
ruang lingkup bidang penyakit kongenital, degeneratif, kanker sistem
saluran cerna, infeksi dan trauma. Teknik operasi bedah digestif
mencapai kemajuan dengan diperkenalkannya teknik pemanfaatan alat stapler
dari Rusia pada akhir tahun sembilan belas sembilan puluhan. Sampai
sekarang teknik ini berkembang pesat dan dapat mempersingkat waktu
operasi yang sangat berpengaruh pada hasil akhir operasi.
Ilmu bedah digestif juga mencapai kemajuan dengan
dikembangkannya bedah laparoskopik yang mampu memberikan sifat invasif
yang minimal dengan mortalitas yang lebih rendah dan morbiditas yang
lebih ringan dan lebih singkat dibandingkan bedah konvensional. Bedag
laparoskopik di Indonesia dikembangkan oleh dokter Henk Kartadinata,
dokter Ibrahim Achmadsyah, dokter Barlian Sutedja beserta dokter Peter
Hasan di Jakarta. Mereka membentuk tim bedah laparoskopik dan berhasil
untuk pertama kali melakukan kolesistektomi laparoskopik pada Februari
1991 di RS Husada-Jakarta. dokter Hermansyur Kartowisastro pun berhasil
melakukannya di RS Pondok Indah, Jakarta. Selanjutnya pada bulan
Desember 1993 di Bandung didirikan PBEI (Perhimpunan Bedah
Endo-Laparoskopik Indonesia).
Operasi pada hati, pankreas dan kolorektal juga mencapai
kemajuan yang pesat. Demikian juga penanggulangan operatif untuk masalah
infeksi dan trauma telah berkembang pesat. Operasi bedah digestif tidak
akan berhasil tanpa dukungan peri-operative critical care atau surgical critical care, karena itu di Bandung dan Jakarta dikembangkan dukungan nutrisi dan ilmunya pada fase peri-operasi.
Selain itu pengertian dan penerapan damage control dan konsep triad of death
(hipotermi, koagulopati dan asidosis yang tidak terkontrol) pada
penanggulangan trauma maupun pada operasi elektif juga ikut
dikembangkan. Penelitian pada hewan percobaan juga dikembangkan di
Jakarta terutama dalam masalah penanggulangan syok hemoragik dan
pengaruhnya pada tingkat seluler dan mikrosirkulasi, yang dapat mengubah
tujuan dan cara resusitasi.
Dengan berkembangnya penelitian pada hewan percobaan,
teknik operasi, terutama operasi invasif yang minimal dan pengertian
yang mendalam mengenai peri operative critical care/surgical critical care,
diharapkan kita akan mampu melakukan transplantasi hati, pankreas dan
tidak ada lagi pasien yang meninggal karena sepsis maupun gagal organ.
0 komentar:
Posting Komentar