(Cerpen) Laboratorium Angker
Banyak
orang yang percaya dengan hal-hal mistis. Salah satunya, Chika. Chika selalu
menghubungkan hal-hal ganjil yang terjadi di sekitarnya dengan alam ghaib.
Entahlah, dia bilang, dia seperti bisa merasakan sesuatu yang berbeda dengan
yang dirasakan orang lain. Chika sering bercerita pada temannya, Laras tentang
pengalaman-pengalaman mistis yang pernah ia alami, seperti mendengar
suara-suara yang memanggilnya saat tengah malam, saat ia melihat sekelebat
bayangan putih melintas di depannya, dan lain-lain.
Laras
bukanlah orang yang mudah percaya dengan takhayul ataupun cerita mistis seperti
itu. Namun, karena Chika adalah temannya, jadi Laras mau tidak mau harus menjadi
pendengar yang baik saat Chika bercerita. Laras tidak mudah percaya dengan
sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika dan akal sehat. Oleh karena
itu, dia tidak pernah tertarik dengan segala macam hal-hal yang berbau ghaib.
Disinilah letak perbedaan antara Laras
dan Chika, Laras lebih suka dengan hal-hal yang berkaitan dengan Jepang. Tidak
seperti Chika yang lebih suka berkutat dengan DVD film-film horror dan koleksi
novel horror favoritnya, Laras lebih suka menonton anime, ataupun mengoleksi manga.
***
“Ras,
aku baru beli novel horror lagi loh. Kamu mau pinjem nggak?”
Yap,
itulah Chika. Ternyata dia memang tidak mengerti kalau Laras tidak terlalu
maniak dengan cerita horror seperti dia. Dan sekarang, dia mengganggu Laras
yang sedang membaca komik Detective Conan.
“Nanti
aja deh,Ka. Aku masih punya banyak komik yang belum aku baca.” jawab Laras
dengan nada malas.
“Oke
deh kalo gitu. Kalo kamu mau pinjem, bilang aja. Ceritanya seru loh,Ras.
tentang misteri hantu-hantu di sekolah. Ceritanya itu, blablablabla...” ujar
Chika dengan panjang lebar.
“Hm,
kayaknya aku nggak perlu minjem novelmu deh,Ka. Kan udah kamu ceritain semua
isinya barusan.”
“Ah,
iya ya. Sorry deh, aku emang suka keasyikan kalo cerita tentang mistis,
hehehe..”
“Dasar,
Chika. Aku jadi tidak bisa konsentrasi baca komik ini.” batin Laras.
Tak
lama kemudian, Bu Anisa masuk ke kelas. Oh, pelajaran biologi yang begitu
membosankan bagi Laras. Untungnya ini jam pelajaran terakhir, ia erasa ingin
cepat pulang ke rumah agar bisa menyelesaikan membaca komiknya. Sepanjang
pelajaran biologi, dia hanya mendengarkan Bu Anisa berbicara kesana kemari.
Karena dia sama sekali tidak mengerti dengan penjelasan yang diberikan Bu Anisa.
“Chika, bisa tolong ambilkan mikroskop di laboratorium
biologi?” tanya Bu Anisa ke Chika.
“Baik, bu.”
Chika pun beranjak dari kursinya di sebelah Laras, dan
berjalan keluar. Beberapa menit kemudian, Chika pun kembali ke kelas dengan
membawa sebuah mikroskop ditangannya. Namun, sepertinya ada yang lain dari Chika,
wajahnya berubah pucat. Hm, mungkin Chika sakit karena begadang menyelesaikan membaca
novel horror barunya itu? Dan kini, Chika sudah duduk di sebelah Laras. Laras
sepertinya ingin bertanya ke Chika, tapi dia tidak berani, karena jika ketahuan
oleh Bu Anisa ada dua orang muridnya yang berbicara selagi ia menjelaskan, maka
mereka akan mendapat omelan yang lebih dahsyat dari ocehannya sekarang.
Laras melirik jam tangan biru mudanya yang menunjukkan
pukul 16.30, masih 30 menit lagi bel pulang. “Mengapa waktu berjalan begitu
lama pada jam pelajaran?” batinnya. Jadi, selama itu dia hanya bisa berpura-pura
mendengarkan dan kadang-kadang menggambar karakter baru untuk komik buatannya.
“TENG! TENG! TENG!”
Akhirnya... Suara bel membuyarkan lamunan Laras dan
langsung memberinya semangat lagi. Terpancar aura kelegaan di wajah Laras
setelah melewati 30 menit penuh penderitaan terberat baginya. Ia pun segera memasukkan
buku-buku pelajarannya ke dalam tas dan berdiri untuk mengambil helm di lemari.
“Ras, temenin aku ke lab yuk. Bu Anisa nyuruh aku balikin
mikroskop ini.” kata Chika sambil menepuk pundak Laras.
“Oke, tapi jangan lama-lama ya. Aku mau cepet pulang ke
rumah, lalu nyelesain baca komik ini.”
balasnya sambil memegang komik Detective Conan.
“Iya, ngapain lama-lama disana. Aku juga nggak betah
lama-lama disana.”
“Ya udah, ayo.”
Mereka pun berjalan melewati lorong sekolah yang sudah
mulai sepi. Laboratorium Biologi di sekolah mereka memang terletak di ujung,
dekat halaman belakang sekolah, dan berdampingan dengan Lab Kimia dan Lab Fisika.
Laras pun teringat dengan pertanyaan yang tadi mau ditanyakannya ke Chika. Saat
dia menoleh ke arah Chika, dia melihat wajah Chika masih tampak pucat.
“Kenapa muka kamu pucat,Ka? Kamu sakit?” tanya Laras.
“Ngg.. Ntar aja deh aku ceritanya,Ras.”
Mereka pun sampai di depan lab biologi. Chika membuka kunci
lab dan langsung masuk sambil membawa mikroskop itu. Sedangkan Laras menunggu
di meja coklat tua dekat tempat penyimpanan mikroskop sambil membaca komiknya.
Saat Chika sudah selesai menyimpan mikroskop, dia pun beranjak dari meja dan
berdiri di depan lemari kaca tempat penyimpanan alat-alat praktikum. Laras
berkaca untuk sekedar merapikan rambutnya. Setelah itu,mereka pun keluar dari
lab dan menuju tempat parkir untuk mengambil motor.
Saat di tempat parkir, Laras tersadar sepertinya dia
melupakan sesuatu. Oh tidak, komiknya tertinggal di lab biologi! Dia lupa
memasukkannya ke dalam tas. “Pasti komikku ada di meja dekat lemari kaca itu.”
kata Laras dalam hati. Terpaksalah dia mengambil komik itu, karena memang komik
itu yang daritadi ingin cepat ia selesaikan.
“Ka, kunci lab bio belum kamu balikin ke penjaga sekolah
kan?” tanya Laras.
“Baru mau aku balikin,Ras. Sekalian pas kita lewat nanti
deh.”
“Aku pinjem bentar dong. Komik Detective Conan-ku
ketinggalan di meja dekat lemari kaca tadi.”
“Besok aja ngambilnya,Ras. Sekolah udah sepi nih. Kamu
nggak takut?”
“Nggak ah, aku mau baca komik itu sekarang. Ngapain juga
takut? Nggak ada yang perlu ditakutin kok.”
“Kamu nggak tau,Ras. Tadi, waktu aku disuruh Bu Anisa
ngambil mikroskop, aku ngerasa ada yang aneh di lab itu. Aku ngeliat ada
sesosok laki-laki disana. Dia memperhatikan aku, dan aku sadar kalo tubuh
laki-laki itu tembus pandang. Kamu liat tadi muka aku pucat kan? Makanya pas
balikin mikroskop tadi, aku minta temenin sama kamu.”
“DEG!” jantung Laras berdegup keras mendengar kata-kata
Chika.
“Ah,
cuman perasaan kamu aja kali,Ka. Di dunia ini nggak ada yang namanya hantu,
setan, atau apalah itu. Udah deh, cepetan mana kuncinya? Kalo kamu nggak mau
nemenin aku lagi ke lab itu, nggak apa-apa kok, aku bisa sendiri” kata Laras.
“Terserah kamu aja deh,Ras. Nih kuncinya. Aku tunggu
disini aja”
“Ya udah kalo gitu.” katanya sambil meninggalkan Chika di
parkiran.
Laras pun berjalan lagi ke arah lab biologi. Dan kali
ini, suasana lorong sekolah benar-benar sudah sepi. Tidak ada lagi anak-anak
yang duduk di depan kelas, ataupun yang bermain basket di lapangan. Laras pun
berjalan dengan keraguan dalam benaknya, dia teringat dengan perkataan Chika
tadi.
“Ah,
kenapa aku jadi parno begini? Tidak biasanya aku merasa ragu, dan perasaan ku
menjadi tidak enak seperti ini.” ujar Laras dalam hati.
Dilihatnya lagi jam tangan di lengan kanannya, sudah
menunjukkan pukul 17.15. Ia pun memutuskan untuk mempercepat langkahnya. Dan
kini, ia sudah ada di depan lab biologi. Dengan ragu di membuka kunci lab
biologi itu. Setelah terbuka, ternyata suasananya terasa lebih suram daripada
saat ia masih bersama Chika tadi. Ia pun segera menuju ke meja dekat lemari
kaca tempat ia membaca komiknya tadi. Tapi, dia tidak mendapatkan apa pun di
atas meja itu. Padahal rasanya tadi memang dia letakkan di atas meja coklat
yang sudah agak tua itu. Dia mencoba membongkar tasnya, tapi ia juga tidak
mendapatkan komiknya di dalamnya. Saat ia sudah selesai merapikan tasnya,
matanya kembali tertuju ke lemari kaca di dekat meja itu. Saat ia melihat
pantulan bayangannya di kaca itu, ia melihat sekelebat bayangan putih yang
lewat di belakangnya
“Kreekk.. Krekk..”
“Suara apa itu? Seperti suara benda bergerak.” batinnya.
Dia melihat sekelilingnya, matanya tertuju
pada miniatur rangka manusia yang ada di pojokan ruangan lab. Tangan tengkorak
itu sedikit bergoyang. Padahal tidak ada angin masuk yang sekiranya cukup untuk
menggoyangkan tangan tengkorak itu. Mungkinkah?
Laras
pun merasakan seperti ada angin semilir yang berhembus di belakang lehernya.
Dan kini, bulu kuduknya sudah mulai merinding. Dia pun berjalan mundur dengan
ragu-ragu, dan..
“Brakkk!”
“Kyaaaaa!!!” teriaknya spontan.
Oh,
ternyata tangannya menyenggol rak tabung reaksi. Huuh, untunglah.. Ia mengira
ada seseorang yang menyenggol rak tabung reaksi itu. Dia pun merapikan lagi rak
tabung reaksi yang tadi disenggolnya. Setelah itu, ia berusaha mempercepat
untuk menemukan komiknya
.
“BINGO! Itu dia!” katanya.
Seperti melihat harta karun, Laras pun berlari
ke tempat penyimpanan mikroskop. Komiknya ada di atas salah satu kotak
mikroskop tersebut. Rasanya, tadi komik itu ia letakkan di meja. Mengapa bisa
jadi pindah ke atas kotak mikroskop? Tidak mungkin komik itu pindah dengan
sendirinya. Dan ia yakin tadi sudah mencarinya kesana, dan tidak menemukan
apapun.
Tempat penyimpanan mikroskop itu berada di ujung ruangan,
di dekat jendela yang mengarah langsung ke halaman belakang sekolah. Setelah
memasukkan komiknya ke dalam tas, Laras pun memandang ke arah jendela itu.
Betapa terkejutnya dia, tepat di jendela itu, ada bayangan seorang laki-laki
dengan wajah yang pucat, matanya melotot, dan tersenyum menyeramkan kepadanya.
Laras seperti ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di
tenggorokan, tidak bisa keluar. Maka, ia pun berlari menuju ke pintu lab. Tapi,
pintunya terkunci!! Dia mencoba membuka pintu itu, tapi tidak bisa. Dia terus
menggedor-gedor pintu itu sekuat tenaga sambil mencoba berteriak, berharap ada
orang lewat yang bisa mendengar suaranya dan membukakan pintu itu. Sepertinya
sudah tidak ada orang lagi. Dia menoleh ke jendela dekat tempat mikroskop itu.
Bayangan laki-laki itu masih ada disana, tetap memperhatikannya!
“Tolooong!!! Tolong buka pintunya!!” akhirnya suaranya
keluar!
Tapi,
tidak ada jawaban dari luar. Lututnya terasa lemas, ia pun hanya bisa terduduk
sambil terus menggedor-gedor pintu. Ia merogoh saku tasnya untuk mencari HP.
Setelah ia dapatkan, ia langsung memencet nomor HP Chika. Chika pasti masih
menunggunya di parkiran. Namun, belum sempat ia berbicara dengan Chika,
handphonenya tiba-tiba mati. Akh, sial! Laras lupa men-charge handphonenya tadi
malam. Sekarang ia hanya bisa pasrah, dan terus menggedor-gedor pintu.
Rasa
lelah mulai menghampiri Laras. Keringat dingin terus bercucuran dari dahinya.
Ia melihat lagi bayangan laki-laki itu, yang kini mulai mendekat ke arahnya.
Bayangan laki-laki itu tersenyum dan menyeringai kepadanya. Jantung Laras
berdegup dengan keras. Ia tidak tau harus berbuat apa. Ia ingin membaca ayat
kursi, tapi bibirnya terasa kaku. Laras pun hanya tertunduk, terdiam, dan
tiba-tiba kesadarannya mulai hilang...
0 komentar:
Posting Komentar