Alkisah Christal Presley memiliki ayah seorang
veteran Perang Vietnam dengan PTSD. Pada waktu PTSD-nya kambuh, ia akan
berkeliaran di dalam rumah sembari menenteng senapannya dan mengancam
akan menembak kepalanya sendiri.
Namun yang menarik adalah
Christal juga merasakan trauma yang sama dengan ayahnya. Padahal Perang
Vietnam sendiri sudah berakhir jauh sebelum ia lahir.
"Saya selalu merasa mewarisi kesedihan ini, tetapi saya tidak mengalaminya langsung," ungkap Christal kepada CNN.
Tak
hanya merasakan trauma, Christal mengaku menggunakan cara yang sama
dengan sang ayah untuk bisa tetap 'survive'. Sang ayah melewatinya
dengan banyak minum alkohol, begitu juga Christal.
Benar saja, di
tahun 2010, wanita berusia 38 tahun itu akhirnya terdiagnosis dengan
PTSD. Seolah-olah membuktikan bahwa trauma ini memang dapat diwariskan
ke generasi berikutnya.
Kondisi ini sesuai dengan hasil sebuah
studi yang dipublikasikan dalam jurnal Molecular Psychiatry baru-baru
ini. Peneliti menyebut, alasan sebagian orang mengidap PTSD adalah
diduga karena DNA yang diturunkan kepada mereka.
"Sebenarnya
bukan diturunkan begitu saja, tetapi DNA itu membuat seseorang menjadi
lebih rentan mengalami trauma," jelas Karestan Koenen, ahli epidemiologi
psikiatri dari Harvard TH Chan School of Public Health, yang memimpin
studi tersebut.
Ketika stres dan traumanya menjadi kronis, pasien
PTSD biasanya mengalami mimpi buruk dan flashback. Hal ini juga dialami
Christal yang mengaku sering bermimpi buruk tentang perang, padahal ia
tak pernah terlibat langsung.
Kendati demikian, pendapat ini
masih menuai kontroversi. Sebab dari analisis mereka terhadap 11 studi
untuk menemukan keterkaitan antara risiko genetik dari pasien PTSD di
antara 20.000 orang, mereka hanya menemukan seperempat saja yang
betul-betul didiagnosis PTSD.
Selama riset dilakukan, peneliti
hanya menemukan satu titik cerah. Dari riset yang dilakukan terhadap
wanita Eropa-Amerika, faktor turunan PTSD ditemukan sebanyak 29 persen,
utamanya pada wanita. Wanita memang diketahui berpeluang dua kali lebih
besar untuk mengalami PTSD setelah mengalami kejadian traumatis. Namun
hasil ini pun belum bisa dijadikan patokan pasti.
Sembari
mencari jawabannya, Koenen berharap bisa menemukan cara baru untuk
mendiagnosis, mencegah serta mengobati kondisi seperti PTSD. Apalagi
mereka dihadapkan pada tantangan seperti potensi genetik yang
tumpang-tindih dengan kondisi kejiwaan lainnya seperti skizofrenia.
"Kami
juga berharap bisa menemukan molekul yang memudahkan para dokter untuk
melacak perkembangan penyakit mental tersebut atau biasa kita sebut
biomarker, tetapi ini juga tidak mudah," tambah Koene.
Christal
sendiri akhirnya menulis sebuah memoir bertajuk 'Thirty Days with My
Father'. Isinya adalah sejumlah cuplikan wawancara antara dirinya dengan
sang ayah tentang masa lalu pria itu.
Buku ini kemudian
dipublikasikan di tahun 2012. Dan tak disangka Christal mendapatkan
respons positif dari publik, terutama dari keluarga para veteran.
"Saya merasa tak sendiri lagi, dan saya senang karena ini membuat PTSD makin dikenal luas," katanya.
Tak
hanya itu, dengan pengalamannya, wanita yang kini berprofesi sebagai
guru itu jadi lebih sensitif terhadap murid-muridnya, pendengar yang
baik serta pendidik yang 'efektif'. "Saya tak punya masalah dalam
mengelola kelas saya karena saya punya kemampuan untuk membaca situasi
sebelum itu terjadi," tutupnya.(lll/vit)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar