, Seorang pria di Sukabumi ditahan pihak kepolisian
karena melakukan kekerasan pada anaknya. Pria bernama Taruna (23)
tersebut melempar bayinya yang baru berusia 47 hari ke arah tungku
perapian karena kesal istrinya belum menyiapkan makanan.
Informasi
dihimpun, peristiwa itu bermula saat pelaku pulang dari tempat kerjanya
sekitar pukul 15.00 WIB, Minggu (23/4/2017). Setiba di rumah, Taruna
yang lapar, lalu menanyakan nasi kepada istrinya.
Keduanya
terlibat cekcok. "Istrinya menjelaskan, nasi masih belum matang dan
masih di atas tungku. Keributan kemudian terjadi, pelaku yang kesal
kemudian merebut bayi yang sedang digendong istrinya. Setelah itu pelaku
melempar anaknya ke arah tungku," ucap Kapolsek Nyalindung AKP Dede
Mazmudin.
Mengomentari hal ini, pakar kesehatan jiwa dari RS Omni
Alam Sutera, dr Andri, SpKJ, FAPM, mengatakan kejadian ini patut
disesalkan. Sebabnya, tidak seharusnya anak menjadi korban atau
pelampiasan ketika orang tua sedang cekcok dan bertengkar.
"Kalau
kita baca dari berita, ayah dan ibunya masih tergolong usia muda.
Terlihat belum adanya kematangan emosional dari pasangan ini, yang dalam
proses pernikahan pastinya dampaknya tidak baik juga untuk anak," tutur
dr Andri kepada detikHealth.
Dikatakan
dr Andri, kematangan emosional ditunjukkan dengan kontrol emosi yang
lebih baik dan menunjukkan tingkat kedewasaan seseorang. Dalam artian,
kematangan emosional menunjukkan seseorang tidak lagi memiliki emosi
yang tidak bisa dikontrol layaknya anak-anak.
Kematangan
emosional ini yang harus diperhatikan sebelum menikah. Boleh saja
berdasarkan usia, pasangan pria dan wanita sudah dikategorikan dewasa
(berusia di atas 19 tahun). Meski begitu, belum tentu secara kejiwaan
mereka siap menjadi orang dewasa.
"Walaupun secara hukum dan
agama boleh (menikah muda), kita harus lihat juga kemampuan emosional
dan kesehatan mentalnya. Dalam artian perilaku dan pikiran harus dijaga
dengan baik," tandasnya lagi.
Jika pun memang belum siap menikah
namun pasangan sudah mendesak, ada baiknya dibicarakan secara baik-baik.
Psikolog Pustika Rucita MPsi mengatakan keputusan untuk menikah bukan
hanya ditentukan oleh satu pihak, namun dari kedua belah pihak,
laki-laki dan perempuan.
"Kalau memang pacaran secara baik dan
sehat nggak ada masalah untuk ngasih pengertian ke pasangan. Coba
komunikasikan secara terbuka mengenai pikiran kita tentang pernikahan,"
ucap Cita.
"Kasih tahu pemikiran kita seperti apa, misalnya masih
ingin berkarier dulu atau keliling dunia dulu," sambung psikolog dari
Tiga Generasi ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar