Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan angka stunting cukup
tinggi di Indonesia yaitu hampir 50 persen. Namun secara nasional sudah
turun yang sebelumnya 37,2 persen, kini menjasi 27,5 persen. Perolehan
ini didapat dari pemantauan status gizi yang dilakukan oleh Dirjen
Kesehatan Masyakarat.
Dikatakan Menteri Kesehatan RI, Prof Dr dr
Nila Djuwita F Moeloek, SpM (K), masalah ini terjadi akibat kekurangan
gizi sejak masa hamil. Ketika anak-anak lahir adalah anak-anak yang
tinggi badannya tidak normal atau pendek.
"Mungkin pendek nggak
apa-apa yang penting adalah otaknya jangan ikut-ikut pendek. Di sini
sayangnya kalau stunting ini ikut otaknya, artinya IQ-nya tidak mencapai
IQ normal," ujar Nila.
Hal ini ia sampaikan dalam acara 'Peran
Poltekkes Kemenkes Kupang dalam Mendukung Pembangunan Kesehatan di
Provinsi NTT Melalui Penyediaan SDM Kesehatan', Selasa, (2/5/2017).
Masalah
lainnya disebutkan Nila adalah faktor budaya. Salah satu contoh di
daerah perbatasan NTT, Silawan, di mana hampir 75 persen ibu tidak
memberikan ASI pada anaknya. Terlebih pada ibu hamil, sebelum dan
sesudah melahirkan mereka diasingkan dan tidak diberi makan, serta
dipisahkan oleh bayinya sendiri.
"Jadi ada faktor budaya dalam
hal ini menurut saya banyak hal yang memang terjadi di luar kemampuan di
dunia kesehatan yang juga kita harus lakukan," kata Nila.
Pada
kesempatan yang sama, disampaikan juga oleh Kadinkes Provinsi NTT dr
Kornelis Kodi Mete, bahwa selain perilaku budaya masyarakat,
keterbatasan bahan pangan di tengah masyarakat juga menjadi faktor
anak-anak mengalami stunting
"Untuk mengatasi stunting tidak
mungkin hari ini selesai. Oleh karena itu, dari segi kesehatan kita
dorong supaya tenaga kesehatan itu bisa memberi penyuluhan dan pemahaman
sembari kita harapkan ada ketersediaan bahan pangan," tutur Kornelis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar