Perkembangan ilmu kedokteran banyak menyisakan pertanyaan besar. Soal
sewa rahim, misalnya, bolehkah dilakukan untuk mendapatkan keturunan
bagi para pasangan yang telah dinyatakan mandul sama sekali atau sulit
memiliki anak? Seiring dengan penemuan cara fertilasi di luar rahim
(in-vitro fertilization), praktik surrogate mother, demikian sering
disebut, marak ditemukan di berbagai negara.
Menurut ilmu kedokteran sendiri, yang disebut dengan sewa rahim ialah
perempuan yang menampung pembuahan suami-istri dan diharapkan
melahirkan anak hasil pembuahan. Apalagi, dengan ditemukannya metode
pengawetan sperma, frekuensi penggunaannya kian meningkat.
Pelaksanaannya pun menuai pro dan kontra. Prof Hindun al-Khuli
menjelaskan problematika ini dalam bukunya berjudul Ta'jir al-Arham fi
Fiqh al-Islami. Ia memaparkan beberapa bentuk kasus sewa rahim berikut
hukum penggunaannya dalam perspektif hukum Islam. Perbedaan pandangan
muncul lantaran praktik modern di bidang kedokteran ini belum pernah
mengemuka pada era awal Islam.
Ia mengatakan, para ulama sepakat, tiga bentuk praktik 'ibu
pengganti' berikut ini diharamkan. Pertama, fertilasi tersebut
menggunakan sel telur dan sperma orang asing (bukan suami istri). Sel
telur dan sperma tersebut diperoleh dari pendonor tersebut dengan
kompensasi materi tertentu. Hasilnya, kemudian diletakkan di rahim
perempuan yang telah ditunjukkan untuk kepentingan orang ketiga.
Contoh kasus kedua yang diharamkan ialah sperma diambil dari suami
dari pasangan yang sah, sedangkan sel telur dan rahim adalah milik
perempuan yang bukan istrinya. Bayi yang lahir dari rahim yang
bersangkutan, akan diserahkan kepada pasangan suami istri yang sah
tersebut.
Sedangkan, praktik sewa rahim ketiga yang tidak diperbolehkan dalam
agama ialah bila sel telur berasal dari istri yang sah, tetapi sperma
yang digunakan untuk pembuahan bukan kepunyaan suaminya, melainkan hasil
donor dari laki-laki lain. Rahim yang digunakan pun bukan rahim sang
istri, melainkan perempuan lain. Setelah lahir, bayi lalu diserahkan
kepada pemilik sel telur, dalam hal ini ialah sang istri dan suaminya,
yang mandul.
Prof Hindun memaparkan, ada dua bentuk praktik yang hukumnya tidak
disepakati oleh para ulama masa kini. Kasus yang pertama, yaitu, baik
sel telur maupun sperma diambil dari pasangan suami istri yang sah.
Setelah proses fertilasi di luar, hasil pembuahan tersebut dimasukkan ke
rahim perempuan lain yang tidak memiliki hubungan apa pun.
Kasus yang kedua, yaitu sel telur dan sperma diambil dari pasangan
suami istri yang sah, lalu diletakkan ke dalam rahim istri keduanya,
misalnya, atau istri sahnya yang lain. Kedua bentuk persewaan rahim ini
diperdebatkan oleh para ulama.
Kubu yang pertama berpendapat, kedua praktik ini haram ditempuh. Opsi
ini merupakan keputusan Komite Fikih Organisasi Kerja Sama Islam (OKI),
baik yang digelar di Makkah pada 1985 maupun di Amman pada 1986, Dewan
Kajian Islam Kairo pada 2001.
Pendapat ini juga diamini oleh mayoritas ahli fikih. Sebut saja, Prof
Jadul Haq Ali Jadul Haq mantan Mufti dan Syekh al-Azhar, Mufti Mesir
Syekh Ali Jumah, mantan Syekh al-Azhar Syekh Thanthawi, Syekh Musthafa
az-Zurqa, dan Ketua Asosiasi Ulama Muslim se-Dunia Syekh Yusuf
al-Qaradhawi. Kelompok yang kedua berpandangan, kedua praktik sewa
rahim yang diperdebatkan itu boleh dilakukan dengan sejumlah syarat
ketat. Pendapat ini disampaikan oleh Prof Abdul Mu'thi al-Bayyumi.
Menurut anggota Dewan Kajian Islam al-Azhar dan mantan dekan fakultas
ushuluddin di universitas Islam tertua di dunia tersebut, syarat-syarat
yang dimaksud, yaitu rekomendasi yang kuat dari dokter dan pemeriksaan
serta perawatan berkala yang ketat, usia 'ibu sewaan' harus cukup dan
laik untuk hamil, dan perlunya kestabilan emosi pemilik rahim sewaan.
Selain itu, pernyataan dari 'ibu sewaan' bahwa anak yang kelak ia
lahirkan adalah milik si A dan si B selaku penyewa rahim.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar