Entri Populer

bruxism

Written By iqbal_editing on Rabu, 14 Desember 2016 | 16.38

Apa Itu Bruxism? - Istilah bruxism berasal dari kata Greek (brychein), yang berarti to gnash the teeth atau mengerotkan gigi-gigi, fenomena bruxism yang tercatat yaitu kira-kira pada 600-200 BC ( Ahlberg, 2008). Definisi bruxism menurut The Academy of Prosthodontics, 2005 yaitu parafunsional grinding dari gigi-gigi, suatu kebiasaan yang tanpa disadari dan berulang atau tidak beraturan (spasmodik), non fungsional grinding atau clenching, selain dari gerakan pengunyahan mandibula yang akan mengarah ke trauma oklusal, situasi ini disebut pula sebagai neurosis oklusal. Sedangkan definisi bruxsim menurut American Academy of Orofacial Pain, 2008 bruxism adalah aktivitas parafungsional diurnal atau nokturnal yang mencakup clenching, bracing, gnashing and grinding pada gigi.

Bruxism adalah istilah yang digunakan untuk mengindikasikan kontak nonfungsional gigi yang meliputi clenching, grinding, dan tapping dari gigi dapat terjadi selama siang hari atau malam hari dan berlangsung secara sadar dan tidak sadar. terjadi dalam kondisi sadar dengan adanya ketidaknormalan fungsi pada otak (Singh, 2007 ; Rosenthal, 2007; Herrera dkk., 2006). Menurut Rao (2008) bruxism terjadi sekitar 15% pada anak-anak dan orang dewasa.Bruxism dapat menyebabkan beberapa komplikasi dental, oral, maupun fasial. Kondisi ini sering merupakan sumber sakit kepala, kerusakan gigi yang membutuhkan perawatan restoratif, penyebab kegagalan implan, dan bahkan rasa sakit pada leher dan TMJ (Rosenthal, 2007; Herrera dkk., 2006).



Apa Itu Bruxism?




Berbagai teori dikemukakan untuk menjelaskan adanya kontroversi etiologi bruxism yang telah berlangsung bertahun-tahun. Nadler (1957) membagi etiologi bruxism menjadi empat yaitu (1) faktor lokal, suatu gangguan oklusal ringan, usaha yang dilakukan pasien tanpa sadar untuk memperbanyak jumlah gigi yang berkontak atau reaksi atas adanya iritasi lokal, (2) faktor sistemik, gangguan gastrointestinal, defisiensi nutrisi dan alergi atau gangguan endokrin telah dilaporkan menjadi salah satu faktor penyebab, (3) faktor psikologis, tekanan emosi yang tidak dapat di tunjukan oleh pasien seperti rasa takut, marah, dan penolakan, perasaan tersebut disembunyikan dan secara tidak sepenuhnya sadar diekspresikan melalui berbagai cara seperti menggeretakkan gigi, (4) faktor pekerjaan, seperti para pembuat arloji, orang-orang yang suka mengunyah permen karet, tembakau atau benda-benda lain seperti pensil atau tusuk gigi. (Singh, 2007; Ghom and Mhaske, 2009; Rao 2008). 
 
Berdasarkan telaah literatur terdapat dua kelompok faktor penyebab bruxism yaitu periferal (morfologis) dan sentral (physiopatologis dan psikologis). Saat ini, bruxism lebih mengarah ke etiologi sentral daripada periferal ( Lobbezoo, 2001). Hasil riset ahir-ahir ini mengindikasikan adanya faktor genetik berperan sebagai etiologi bruxism ( Hublin dkk, 2003 ). Berbagai studi memperlihatkan pula berbagai faktor resiko yang memperburuk bruxism sperti merokok, kafein dan konsumsi alkohol ( Ohayon dkk, 2001 ).


Dokter gigi diklinik perlu perhatian untuk mengenal kelainan psikis dan psikiatrik, seperti kecemasan atau kecemasan patologis, kondisi hati (mood) dan kelainan personaliti. Pada kondisi tersebut seorang psikolog sangat diperlukan. Menurut Lavigne, dkk. 2008, untuk memahami penyebab bruxism adalah sangat sulit untuk mengisolir peran stres dan kecemasan dari perubahan yang terjadi pada autonomik dan kegiatan motorik. Adanya keberagaman psikososial dan penanda biologis akan saling mempengaruhi, sehingga sulit untuk mendapatkan deskripsi yang jelas, sederhana dan sahih hubungan sebab diantara stres, kecemasan dan bruxism.

Fenomena bruxism yang tercatat yaitu kira-kira pada 600-200 BC. Fenomena bruxism telah mempengaruhi banyak orang di seluruh dunia. Di Amerika Serikat diduga sebanyak 45 juta orang memiliki tanda dan gejala dari bruxism (sewaktu tidur) dan 20% dari penduduk mengalami bruxism sewaktu bangun ( Lavigne dkk, 2008 ). Prevalensi bruxism berkisar antara 14% - 20% pada anak-anak, 5% - 8% pada orang dewasa dan menurun menjadi 3% pada orang usia diatas 60 tahun ( Gloroa dkk, 1981 ). Tidak terdapat perbedaan predileksi jenis kelamin, artinya bruxism dapat dialami oleh baik laki-laki maupun perempuan ( Lavigne dkk, 1994 ).



Bruxism yang terjadi pada saat masa kanak-kanak akan menimbulkan erupsi yang tidak sempurna pada gigi posterior dan juga menyebabkan menurunnya petumbuhan vertikal dari maksila posterior, selain itu berakibat atrisi pada gigi anterior yang akan menyebabkan turunnya dimensi vertical sehingga bermanifestasi pada deep overbite gigi anterior (Bishara,2001).


Bruxism akan mengahasilkan erupsi yang tidak komplit pada gigi posterior sehingga menurunkan petumbuhan vertical dari maksila posterior dan proses pembentukan alveolar mandibula yang menghasilkan kenaikan overbite anterior. Gigi yang terkikis pada penderita bruxism menyebabkan pengurangan jarak antara rahang atas dan rahang bawah, sehingga mengurangi dimensi vertikal (Ghom and Mhaske, 2009). Penurunan dimensi vertikal bermanifestasi pada deep-overbite pada gigi anterior (Bishara, 2001).




Apa Itu Bruxism?


 
Menurut Cawson dkk, 2002 terdapat beberapa tanda klinis yang dapat kita jumpai pada penderita bruxism, yaitu:

a. Biasanya terlihat  pada permukaan kunyah seperti insisal, oklusal, dan proksimal.

b.Biasanya menyebabkan permukaan melengkung sampai rata, mahkotanya memendek dan permukaan enamel oklusal/ insisal menghilang. Menyebabkan tepi enamel menjadi tajam.
c. Pada gigi anterior, ujung insisal tampak melebar. Pada gigi posterior, bagian yang mengalami efek bruxism terutama adalah cusp.
d. Pada gigi rahang atas, yang paling mudah terkena efek bruxism adalah cusp lingual, sementara pada gigi rahang bawah adalah cusp bukal. Jika sudah terkena dentin, warna menjadi kekuning-kuningan serta terbuka.

e. Keausan batas (facet) meluas lebih cepat karena faktor fisiologis.




Menurut Lobbezoo, 2001 bruxism dapat dikategorikan menjadi 3 macam berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu:


a. Faktor Periferal ( morfologis )

Faktor periferal pada waktu lalu dipertimbangkan sebagai etiologi utama bruxism. Ramfjorf (1961) menyarankan bahwa bruxism dapat dihilangkan dengan penyesuaian oklusal. Tapi dari berbagai studi menunjukkan bahwa hubungan antara bruxism dan faktor oklusal adalah lemah atau tidak ada ( Manfredini dkk, 2004 ). Sementara itu, Michelotti dkk, 2005, dalam eksperimennya, bahwa suprakontak nyata berhubungan dengan pengurangan kegiatan elektomiografi (EMG) ketika bangun. Hasil double-blind randomized controlled studies di Finland menunjukkan bahwa interferensi oklusal artifisial tampaknya mengganggu keseimbangan oromotor pada mereka dengan kelainan temporomandibular ( Niemi dkk, 2006 ). Artikel tinjauan Luther, 2007 menyatakan tidak ada bukti bahwa interferens oklusal sebagai etiologi bruxism, atau penyesuaian oklusal dapat mencegahnya. 
 

b. Faktor Pathophysiologi

Pathophysiologi dari bruxism sewaktu tidur tampaknya belum dapat dijelaskan sepenuhnya, tetapi mungkin disebabkan mulai dari faktor psikososial seperti stres, kecemasan, respon yang eksesif sampai microarousals. Microarousals didefinisi sebagai periode singkat (3-15 detik) dari aktivitas cortikal sewaktu tidur, yang berhubungan peningkatan aktivitas sistem syaraf sympatetik. Hampir 80% episod bruxism terjadi dalam kelompok, sewaktu tidur dan berhubungan dengan microarousal. Mengerotkan gigi didahului urutan kejadian psikologis: peningkatan aktivitas sympatetik (pada 4 menit sebelum mengerot dimulai), diikuti aktivasi cortikal (1 menit sebelumnya) dan peningkatan ritme jantung dan tonus otot pembukaan mulut (1 detik sebelumnya) ( Kato dkk 2001 )


Bukti terbaru yang mendukung hipotesis bahwa bruxism dimediasi secara sentral dibawah rangsangan autonom dan otak. Bukti mendukung peran syaraf sentral dan sistem syaraf autonom pada awal aktivitas oromandibular bruxism selama tidur malam ( Lavigne dkk, 2007 ).


c. Faktor Psikologis

Studi oleh Lobbezoo dan Naeije, 2001 menyatakan bahwa pengalaman stres dan faktor psikososial berperan penting pada penyebab bruxism. Menurut literatur berdasarkan laporan sendiri (self-reported) dan observasi klinik adanya keausan gigi adalah satu cara untuk menilai bruxism dalam hubungannya dengan kecemasan dan stres ( Janal dkk, 2007 ). Tetapi, ada keterbatasan dari metoda tersebut, karena keausan gigi digambarkan sebagai indikator yang lemah dari konsep bruxism dan tidak membedakan clenching dan grinding ( Marbach dkk, 1990 ). Besarnya keausan gigi dipengaruhi oleh kepadatan email atau kualitas saliva dan efektivitas lubrikasinya ( Lavigne dkk, 2003 ).



Untuk mendiagnosis bruxism sebagai dokter gigi perlu melihat tanda – tanda klinis dan perubahan pada gigi dan rongga mulut pada beberapa kunjungan. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah keadaan bruxism ini memerlukan medikasi tau tidak. Apabila dicurigai bruxism maka kita dapat mengajukan pertanyaan seputar kesehatan gigi umum , obat-obatan , rutinitas sehari-hari pasien dan kebiasaan tidur.

Untuk mengevaluasi sejauh mana tingkat bruxism dapat dulakukan pemeriksaan sebagai berikut:

a. Pemeriksaan untuk mengetahui apakah terdapat nyeri atau tidak pada otot rahang

b. Kelainan gigi yang jelas , seperti patah atau hilang gigi atau keselarasan gigi yang buruk

c. Pemeriksaan keadaan gigi dan jaringan pendukung gigi yang rusak dengan menggunakan sinar x

d. Pada pemeriksaan radiografis pada penderita bruxism dapat ditemui:

  • Terjadi penebalan di lamina dura
  • Biasanya pada bagian mahkota gigi mengalami keausan atau bahkan hilang.

e. Pada pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai goresan-goresan parallel dengan satu arah pada permukaan yang datar dan ada batas pada setiap seginya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik