Entri Populer

dampak psikologis pertengkaran orang tua

Written By iqbal_editing on Jumat, 27 Januari 2017 | 23.45



uasana rumah tangga kadang kita rasakan begitu manis dan romantis. Tapi, pada waktu-waktu tertentu, ada konflik yang tak terelakan terjadi antara pasangan suami istri. Pertanyaan yang muncul: Bisakah manajemen konflik diterapkan dalam lingkungan rumah tangga? Terkadang, karena tidak ada manajemen tersebut, sering anak-anak yang lugu menjadi korban emosi orang tua, yang sebenarnya emosi tersebut bukan untuk anak, tapi mungkin ditujukan ke suami atau sebaliknya. Pada suatu kasus, ada seorang anak yang cantik, berusia 5 tahun, ketika berkumpul dengan banyak anak dalam sebuah sekolah, anak tersebut memiliki sifat yang sangat unik. Karakter yang melekat anak itu begitu pendiam, penakut, pemalu, pemarah dan selalu murung serta parah juga ada pendendam, tidak ceria dan lincah nan kritis selayaknya anak-anak. Anak itu selalu nempel dengan ibu atau ayahnya. Sekolahpun anak tersebut belum mau ditinggal mesti sudah ada teman dan ibu gurunya. Jika diajukan pertanyaan kepadanya pun sepatah katapun tidak terdengar. Namun menurut orang tuanya, kalau dirumah anak tersebut jago kandang dan banyak bicara. Jika ditanya oleh orang tuanya: “mengapa tidak mau bergaul dan bicara dengan kawan-kawannya?”, anak itu menjawab: "malu". Bapak si anak tersebut pernah mencurhatkan bahwa rumah tangganya selalu ramai dengan suara nyanyian istrinya (marah-marah) setiap hari. Kadang nyanyian itu berkumandang subuh, tengah hari, habis isya bahkan pernah jam 3 malam. Tabuh nyanyian akan semakin ramai jika sang suami meladeni nyanyian istri tersebut. Kejadian tersebut terjadi setiap hari. Siapa yang menjadi korban? Nomor satu adalah anak mereka, dan nomor dua adalah tetangga. Tetangga menjadi mengerti persoalan dan konflik suami istri tersebut. Hal-hal yang kecilpun tidak luput menjadi bahan nyanyian. Tetangga sangat terganggu dengan nyanyian mereka sepanjang hari, serasa tidak ada kedamaian di dalam rumah itu. Pernah suatu hari, tetangga melemparkan parang panjang di depan rumah mereka, baru mereka diam. Terbayang, sungguh kasihan anak mereka menjadi saksi keributan orang tuanya. Kadang anak itu sangat takut untuk melakukan suatu hal, bahkan menjatuhkan bonekanya sendiri wajahnya langsung berubah ketakutan bila ibunya marah. Jika mau melakukan tindakan apapun, anak sering tidak percaya diri dan selalu tanya kepada ibunya: "Boleh nggak Ma?". Sikap tersebut secara tidak langsung tumbuh karena anak tersebut setiap hari dilarang-larang dengan kata-kata ibunya: "Jangan!" Dari kejadian tersebut, manajemen konflik dalam rumah tangga hendaknya diterapkan. Tanpa bermaksud menggurui, kesabaran memanage emosi istri terhadap suami atau sebaliknya menjadi point penting. Menurut saya, komunikasikan secara terbuka dan dengan bahasa yang santun tanpa tetangga satu kampung dan satu kantor tahu persoalan yang sedang dihadapi. Dan satu lagi, jika ingin marah jangan dihadapan anak. Jika anak selalu menjadi saksi pertengkaran orang tua, akibat psikologi yang berkepanjangan adalah anak mudah marah, pemurung, penakut, tidak percaya diri dan dendam. Tiap hari anak belajar dari melihat dan mendengar segala fenomena yang terjadi dimulai dari dalam rumah. Menurut saya, menciptakan kehangatan dan kasih sayang orang tua di dalam rumah adalah hal yang terbaik untuk menumbuhkembangkan mental anak yang baik dan sehat. Semoga bermanfaat.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ulfahumurohmi/dampak-psikologis-anak-yang-menjadi-saksi-pertengkaran-orang-tua_55288c1bf17e6100608b45cb

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik