Entri Populer

ASA bagian 2

Written By iqbal_editing on Senin, 02 Januari 2017 | 17.00

3
DETEKSI ANTIBODI PADA PASANGAN INFERTIL
Deteksi antibodi antisperma dapat dilakukan secara langsung terhadap antibodi yang
terikat pada sperma atau tidak langsung mengukur antibodi dalam cairan (serum,
semen, sekret vagina atau serviks atau cairan lain ). Diantara metode lain uji Kibrick,
uji Isojima, uji Kremer & Jager, imunobead assays (IBD), mixid antiglobulin reaction
(MAR) test, ELISA, tray agglutination test (TAT), Sperm immobilization assay test,
flow cytometry, dan radiolabeled agglutinin assays.
3,11
Uji Kibrick ( sperm aglutination test)
Pemeriksaan ini untuk menentukan adanya aglutinasi sperma dalam serum. Semen
normal yang segar diencerkan dengan Baker’s buffer sampai tercapai kepekatan 40
juta per mil. Suspensi sperma ini kemudian dicampur dengan 10% larutan gelatin
dalam Baker’s buffer dalam jumlah yang sama, keduanya dalam suhu 37
0
C. Serum
yang akan diperiksa dan serum kontrol negatif dipanaskan pada suhu 56
0
C selama 30
menit untuk menginaktifkan komplemen. Kemudian dibuat pengenceran serum yang
diperiksa, dimulai dengan 1:4, 1:8, 1:16, dan seterusnya. Sebanyak 0,2 ml suspensi
sperma dalam gelatin dicampur dengan 0,2 ml serum inaktif. Campuran tersebut
kemudian dipindahkan pada tabung Kibrick yang berukuran 5 x 65 mm dan
diinkubasi pada suhu 37
0
C selama 2 jam. Secara mikroskopis, suatu reaksi positif
terlihat sebagai gumpalan-gumpalan putih diantara media yang bening, yang berasal
dari sperma yang teraglutinasi.
11
Uji Isojima (Sperm immobilization test)
Immobilisasi sperma yang tergantung komplemen merupakan dasar dari test antibodi
sperma ini. Interaksi antara molekul antibodi dan antigen sperma mengaktifkan
sistem komplemen dan mengganggu permeabilitas dan integritas membran sel sperma (akrosom dan bagian tengah). Pengaruh yang dapat dilihat secara mikroskopik adalah
hilangnya motilitas sperma diikuti kematian sel. Aktivitas immobilisasi sperma
terletak pada faksi IgG dan IgM dari semen yang positif yang dapt digunakan sebagai
dasar pemeriksaan aktivitas antisperma humoral. Tes immobilisasi sperma ini adalah
suatu metode pilihan untuk skrining antibodi serum wanita dan juga dapat dikerjakan
pada pemeriksaan antibodi serviks. Spermatozoa yang digunakan dalam tes
immobilisasi ini haruslah sperma yang baru diejakulasikan dengan kualitas yang baik.
Serum yang digunakan masih segar.
2
Serum penderita dipanaskan pada suhu 56
0
C selama 20 menit untuk
mengaktifkan komplemen, kedalam 0,25 ml serum percobaan yang inaktif tersebut
dimasukkan 0,025 ml semen yang segar yang telah disesuaikan jumlah spermanya
sebanyak 60 juta per ml. Kedalamnya ditambahkan pula 0,05 ml serum manusia
sebagai komplemen. Campuran tersebut diinkubasi dalam penangas air pada 32
0
C
yang lebih sesuai dengan temperatur testis dalam skrotum. Sebagai kontrol 0,025 ml
serum manusia inaktif tanpa aktivitas imobilisasi 0,05 ml larutan komplemen dan
0,025 ml suspensi sperma dicampurkan dan diinkubasi.
Setelah 60 menit, 1 tetes dari campuran diletakkan pada gelas objek dasn motilitas
sperma dilihat dibawah mikroskop, dihitung jumlah sperma motil diantara 50
spermatozoa. Cara ini diulangi sampai 40 lapangan pandangan. Persentase sperma
motil diantara 200 spermatozoa dihitung sebagai T% dan kontrol sebagai C%. Nilai
ini imobilitas dihitung sebagai C/T. Hasil dianggap positif apabila T kurang dari ½
C.
11
Uji Kremer & Jager ( Tes kontak sperma-cairan serviks)
Tes ini pertama kali dilakukan oleh Kremer dan Jager untuk melihat antibodi lokal
pada pasangan infertil. Hasil positif menunjukkan adanya antibodi antisperma baik
pada seman, cairan serviks atau keduanya. Tas ini sangat bernilai untuk mendeteksi
antibodi lokal dan juga cocok untuk uji silang. Setetes lendir istri praovulasi dengan
tanda-tanda pengaruh estrogen yang baik dan pH lebih dari 7 diletakkan pada sebuah
gelas objek disamping stetes air mani suami. Kedua tetesan itu dicampur dan diaduk
dengan sebuah gelas penutup, yang kemudian dipakai untuk menutup campuran itu. Setetes air mani yang sama diletakkan pada gelas objek itu juga, kemudian ditutup
dengan gelas penutup. Penilaian dilakukan dengan membandingkan mobilitas
spermatozoa dari kedua sediaan itu. Sediaan itu kemudian disimpan kedalam tatakan
peetri yang lembab, pad suhu kamar selama 30 menit, untuk kemudian diamati lagi.
Menurut Kremer & Jager, pada ejakulat dengan autoimunisasi, gerakan maju
spermatozoa akan berubah menjadi terhenti atau gemetaran ditempat (shaking
movement) kalau bersinggungan dengan lendir serviks. Perangai gemetar ditempat ini
terjadi juga kalu air mani yang normal bersingggungan dengan lendir serviks wanita
yang serumnya mengandung antibodi terhadap spermatozoa.
2,11
Indirect immunobead binding (IBD) test
Tes ini menggunakan butir (bead) poliakrilimida yang berikatan dengan
antiimunoglobulin spesifik butir tersebut kemudian dicampur dengan sperma segar
yang viabel dan dicuci atau tidak dicuci. Sampel semen dengan antibodi antisperma
(+) dari donor dan disiapkan dengan cara/metode renang atas untuk mendapatkan
sperma yang mengandung ± 50 x 10
6
/ml sperma motil. Sepuluh mikroliter plasma
semen masing-masing dilarutkan dalam 40 μL phosphate buffered saline (PBS)
ditambah dengan 5% (50g/L) albumin serum sapi (BSA) dalam tabung Effendorp,
dan 50 μL suspensi sperma ditambahkan pada masing-masing tabung dan dicampur
secara hati-hati. Sampel kemudian diinkubasi pada suhu 37
0
C selama 60 menit dan
kemudian disentrifus selama 5 menit pada putaran 500 putaran permenit. Supernataan
dibuang dan endapan sperma dicampur lagi dengan 500 μL PBS + 0,4% BSA dan
disentrifus selama 5 menit pada 500 ppm. Supernatan dibuang dan enadpan sperma
dilarutkan lagi dengan 50 μL PBS segar ditambah 5% BSA.
16,18
Dengan 2 slide yang berbeda 5 μL suspensi sperma tadi dicampur dengan 5 μL
immunobead GAM yang mengandung campuran imunoglobulin antihuman
immunobead (IgG, IgA, dan IgM). Slide kemudian diinkubasi selama 10 menit dan
kemudian diperiksa dengan pembesaran 400 kali dengan mikroskop kontras.
Setidaknya 200 sperma motil dihitung, dikelompokkan menjadi 2, yang dengan
dempet imunobead (immunobead attached) dan tanpa dempet imunobead. Lokalisasi
band bead juga diperiksa (misalnya kepala, midpiece, ekor an ujung ekor).
16,18 Peersentase sperma yang motil dengan GAM imunobead dihitung. Tes dikatakan
positif bila ≥ 20% sperma motil mempunyai bead attache dan secara klinik bermakna
bila ≥ 50% dilapisi bead. Keuntungan tes ini adalah bersifat semikuantitaf, mampu
mendeteksi isotif dan lokasi fisik ASA, baik dalam hal sensitivitas dan spesifisitas.
Sedangkan kerugiannya yaitu membutuhkan staf yang trampil, mahal, memerlukan
waktu yang banyak, dan sulit dalam interpretasi. Beberapa metode lain yang
dikembangkan dari metode ini yaitu modifikasi metode imunobead (modified
immunobead method), dan mixed immunobead screen.
3,16,18,19
Mixed antiglobulin reaction (MAR) test
Eritrosit golongan darah O dengan Rh-positif dilapisi oleh IgG atau IgA, dicampur
dengan sperma viabel yang dicuci ataupun tidak dicuci. Antiserum yang spesifik
terhadap imunoglobulin pada eritrosit ditambahkan, dan akan terjadi aglutinasi
sperma eritrosit bila ada antibodi antisperma. Aglutinasi ini dapat dinilai secara
semikuantitatif dengan menggunakan mikroskop.
3
Elisa (enzym linked immunosorbent assay)
Antibodi spesifik dapat diikat oleh suatu enzim. Komplek antibodi-enzim
imunoglobulin adpat dideteksi dengan menambahkan subsrat enzim spesifik, yang
biasanya menghasilkan perubahan warna. Keuntungan metode ini adalah spesifik dan
kuantitatif.
20
Tray aglutination test (TAT)
TAT dignakan untuk mendeteksi adanya antibodi anti sperma dalam serum atau
semen pasien. Cairan yang akan diperiksa dilarutkan secara serial setelah dilakukan
pemanasan untuk menginaktivasi komplemen. Kemudian ditambahkan sperma motil
yang dicuci dari donor yang sehat kedalam contoh cairaan. Persentase aglutinasi
sperma dihitung dengan bantuan mikroskop cahaya.
3
Gelatin aglutination test
Pada test ini spermatozoa motil dicampur dengan medium gelatin dan sperma atau
cairan ditambahkan kedalam campuran tersebut secara serial. Aglutinasi dapat dilihat secara mikroskopik. Tes ini digunakan secara luas pada suami pasangan infertil,
sedangkan penggunaan paad isteri kurang memberikan hasil yang baik. Walaupun
tidak dianjurkan lagi aktivitas aglutinasi gelatin terletaak pada IgG, IgA daan IgM.
Metode ini membutuhkan kontrol dan interpretasi yang teliti.
2
Teknik immunofluresens
Pemeriksaan ini terdiri dari tiga langkah dasar, Subsrat antigen disiapkan dengan cara
membuat apusan spermatozoa yang dikeringkan diudara. Sediaan kemudian ditetesi
serum yang diperiksa (atau cairan serviks atau plasma semen) dan dilakukan
pemeriksaan imunofluresens terhadap imunoglobulin. Reaksi antigen antibodi antara
semen dan cairan saluran reproduksi dan sel-sel sperma dapat dilihat dan dilokalisasi
secara makroskopik dan penampakannya berhubungan dengan anatomi spermatozoa.
2
Reaksi pewarnaan yang lemah pada kasus yang meragukan seringkali didapatkan
dan hasil yang dianggap positif bila diadpatkan pada pengenceran lebih dari 1/16.
Beberapa bagian sperma seperti kutub, leher dan bagian tengah adalah tempet yang
menimbulkan warna nonspesifik. Antibodi antisperma dalam darah bereaksi pada
teknik imunofluoresens hanya terhadap antigen diakrosom dan ekor. Pewarnaan
akrosom terjadi karena adanya antibodi IgM dan IgG, dan pewarnaan pada ekor
utama hampir selalu disebabkan oleh IgG. Sedangkan pewarnaan pada ujung ekor
disebabkan oleh adanya antibodi IgM.
2
Flow cytometry
Sampel plasma semen sebanyak 50 μL dicampur dengan 40 μL PBS ditambah 5%
albumin serum goat. Sepuluh mikroliter suspensi sperma yang disiapkan dengan
metode renang atas dari donor dengan antibodi anti sperma (-) mengandung ±
125.000 sperma motil ditambahkan pada tiap sampel. Kontrol menggunakan sampel
yang diketahui positif atau negatif terhadap ASA.
19
Setelah inkubasi paada suhu 37
0
C daalam inkubator yang mengandung CO2 5%
selama 1 jam, sperma dicuci sebanyak 2 kali untuk menghilangkan antibodi yang
tidak terikat. Satu mililiter PBS ditambahkan dan campuran digoyang-goyang teratur.
Tabung kemudian disentrifus selama 5 menit pada 500 ppm dan supernatan dipisahkan. Endapan sperma dicampur lagi dengan 1 ml PBS dan kemudian dicuci
ulang. Setelah disentrifus, endapan diencerkan lagi dengan 50 μL larutan fluoresens
isotiosianat konjugat (FITC) yang mengandung imunoglobulin IgA, IgG, IgM dan
diinkubasi selama 1 jam pada suhu 4
0
C dan terhindar dari sinar. Antibodi yang tidak
terikat dihilangkan dengan mencuci menggunakan PBS sebanyak 2 kali dan sperma
dianalisis dengan flow cytometry.
19
Sebanyak ± 5000 sperma dianalisis dari tiap sampel menggunakan histogram.
Dihitung berapa persen sperma yang dilapisi antibodi. Bila < 20% dikatakan negatif
dan bila ≥ 20% dikatakan positif.
19
Berdasarkan hasil, metode, dan ketelitian pemeriksaan antibodi antisperma,
beberapa petunjuk untuk langkah pemeriksaan pasangan pasangan infertil dengan
kemungkinan adanya faktor imunologi telah diusulkan oleh Jones. Ia membuat suatu
pedoman meliputi :
1. Tes imobilisasi sperma cocok sebagai tes untuk skrining terhadap adanya antibodi
suami atau isteri dan juga dapat digunakan untuk pemeriksaan lendir serviks.
2. tes kontak sperma – lendir serviks untuk melihat faktor imunologis lokal. Dengan
uji silang menggunakan sperma atau lendir serviks donor dapat ditentukan apakah
aktivitas antibodi berasal dari isteri atau suami.
3. Tes aglutinasi dengan gelatin cocok digunakan untuk suami, khususnya plasma
semen, tapi memerlukan interpretasi yang teliti.
4. Antibodi lokal (SIgA) tidak dapat dideteksi pada lendir serviks dan plasma semen
dengan tes konvensional untuk antibodi antisperma serum.
5. Tes mikroaglutinasi sperma sebaiknya dihindarkan.
6. Tes menggunakan mikroskop imunofluoresens tak langsung bukan merupakan tes
rutin, tapi mungkin bermanfaat untuk menilai sifat reaksi antigen-antibodi dalam
suatu penelitian.
2
PENGOBATAN
Ada tiga strategi dasar dalam penanganan pasangan infertil karena imunologi ini yaitu
1. menurunkan produksi ASA, 2. Menghilangkan antibodi antisperma yang terikat
pada sperma, dan 3. ART (Assisted reproductive technology). Ketiga sterategi ini secara teoritis menurunkan paparan gamet oleh antibodi antisperma yang akan
meningkatkan fungsi gamet. Sedangkan Alexander mengajukan 3 pilihan terapi yaitu
1. Inseminasi dengan sperma donor, 2. Terapi imunosupresif, dan 3. Manipulasi
sperma.
3,5
Ada hubugan antara antibodi antisperma dan ART. Walaupun ART digunakan
untuk pengobatan ASA, antibodi antisperma mungkin mempunyai efek merusak
ART. Beberapa penelitian antara lain penggunaan intra uterine insemination,
intracervical insemination (ICI), in vitro fertiliztion (IVF), gamete intrafallopian tube
transfer (GIFT), subzonal sperm injection (SUZI) dan intracytoplasmic sperm
injection (ICSI).
3,21
Terapi oklusi
Di sini suami menggunakan kondom selama 6-9 bulan bila isteri mempunyai bukti
faktor imunologis sebagai penyebab infertilitasnya. Ada yang menganjurkan 6-12
bulan. Tujuannya adalah untuk mengurangi titer antibodi antispermatozoa dengan
mencegah pengulangan stimulasi antigenik. Uji imunologi harus diulang setiap 3
bulan sehingga menjadi negatif atau titernya menjadi 1:4 atau kurang. Terapi ini tidak
memberikan hasil yang memuaskan pada isteri yang mempunyai antibodi antisperma
dalam serumnya. Terapi ini lebih rasional bila diberikan pada pasien dengan adanya
faktor imunologik lokal (lendir serviks). Franklin dan Dukes melaporkan bahwa
kondom efektif untuk beberapa pasien. Tetapi menurut Aiman tidak ada bukti yang
menyakinkan untuk pemakaian kondom ini.
2,3,11,22
Inseminasi intrauterin
Inseminasi intrauterin terutama diberikan bila terbukti adanya antibodi antisperma
lokal pada lendir serviks yang menyebabkan kegagalan penetrasi lendir serviks oleh
sperma. Memang indikasi inseminasi ini masih kontroversi karena beragamnya hasil
yang dilaporkan. Angka keberhasilan dengan metode ini berkisar antara 20-30%.
Francavilla dkk dalam penelitiannya tidak berhasil melakukan inseminasi intrauterin
ini dimana spermatozoa yang digunakan semuanya berikatan dengan antibodi.
Sedangkan Rojas dalam penelitiannya terhadap 41 orang yang dilakukan inseminasi dengan menggunakan sperma yang dicuci hanya mendapatkan insidens antibodi
antisperma (+) pada 2 pasien (4,8%).
3,21,24
Terapi imunosupresif/kortikosteroid
Terapi kortikosteroid dapat diharapkan menurunkan produksi ASA. Suami diberikan
20 mg prednisolon selama 10 hari pertama sesuai siklus isteri dan 5 mg/hari pada hari
ke 11-12 selama 3 siklus. Ada juga peneliti yang menggunakan metilprednisolon.
3
Lahteenmaki membandingkan efektivitas pemberian prednisolon oral dengan
inseminasi intrauteri pada 46 pasangan dengan antibodi antisperma (+) pada suami.
Suami diberi prednisolon 20 mg/hari selama 10 hari ditambah 5 mg/hari pada hari ke
11-12 selama 3 siklus. Namun pada penelitian ini ia berkesimpulan bahwa inseminasi
lebih baik dibandingkan terapi steroid pada suami.
3
Penelitian lain yaitu membandingkan 30 pasangan dengan antibodi antisperma
suami positif yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama diberikan steroid
oral selama 4 bulan dan dilakukan inseminasi, sedangkan kelompok kedua
diberikansteroid selama 4 bulan dan diberikan jadwal hubungan suami isteri. Steroid
yang diberikan yaitu prednisolon selama 4 bulan dan diberikan jadwal hubungan
suami isteri. Steroid yang diberikan yaitu prednisolon selama 10 hari pertama siklus
istri dan 10 mg pada hari ke11 dan 12. Didapatkan tingkat kehamilan pada kelompok
pertama sebesar 39,4 % dan kelompok kedua 4,8%. Memang disini masih belum jelas
apakah faktor steroid berperan dalam tingginya tingkat kehamilan karena masih ada
faktor lain yaitu keadaan superovulasi, bypass terhadap lendir serviks atau perbaikan
lingkungan uterus. Beberapa efek samping pemakaian imunosupresif ini antara lain
nekrosis aseptik sendi paha, kambuhnya ulkus duodenal.
3,5
Pencucian spermatozoa
Metode ini merupakan salah satu metode menghilangkan antibodi antisperma yang
terikat pada sperma. Disini sperma dari suami dicuci beberapa kali dengan buffer
fisiologik yang ditambah serum/albumin manusia 5-10%. Spermatozoa yang telah
dicuci diinseminasi kekanalis servikalis atau kavum uteri isteri. Kualitas sperma yang
baik penting sekali dalam metode ini.
11
Penambahan protease IgA
Bronson menemukan bahwa porsi Fc pada antibodi antisperma imunoglobulin
bertanggung jawab dalam menghambat penetrasi sperma kedalam lendir serviks. Ia
berasumsi bahwa IgA protese yang melepaskan porsi Fc dapat meningkatkan
penetrasi lendir serviks. Lebih lanjut Kutteh dan kawan-kawan menambahkan
protease IgA pada campuran antibodi antisperma (-) dan antibodi antisperma (+) pada
lendir serviks. Pada kelompok protease terdapat penurunan 81% pengikatan sperma
oleh ASA.
3
Penggunaan heparin dan aspirin
Pada keadaan infertilitas yang disebabkan adanya faktor autoimum dimana
didapatkan antibodi antifosfolipid beberapa peneliti menggunakan heparin dan aspirin
sebagai obat yang digunakan. Sher mendapatkan tingkat kehamilan sebesar 49% pada
kelompok terapi dan hanya 16% pada kelompok non terapi. Kutteh dkk melaporkan
bahwa penggunaan heparin dasn aspirin dosis rendah lebih bik dibandingkan hanya
menggunakan aspirin saja. Ia mendapatkan angka kehamilan 44% pada kelompok
aspirin dan 80% pada kelompok aspirin ditambah heparin. Balasch dengan
menggunakan aspirin 100 mg perhari mulai 1 bulan sebelum konsepsi sampai selama
kehamilan dapat meningkatkan angka keberhasilan kehamilan dari 6,1% sampai
90,5%. Wada dkk juga berhasil meningkatkan tingkat kehamilan dengan
menggunakan aspirin 150 mg atau 300 mg dalam penelitiannya.
13
RINGKASAN
Salah satu penyebab penting infertilitas adalah faktor imunologi, khususnya pada
kasus-kasus dengan infertilitas yang sebabnya tidak jelas. Reaksi imunologi pada
pasangan infertil disebabkan oleh adanya antigen pada sperma yang menyebabkan
timbulnya antibodi antisperma baik pada suami maupun pada istri. Antibodi
antisperma ini dapat menyebabkan infertilitas melalui 2 mekanisme yaitu melalui
aktivitas aglutinasi dan aktivitas imobilisasi sehingga akhirnya sperma tidak dapat
mencapai tuba untuk membuahi ovum. Beberapa tes untuk mendeteksi adanya antibodi antisperma dalam serum atau
dalam lendir serviks yang penting adalah uji aglutinasi sperma, uji imobilisasi
sperma, uji kontak sperma-lendir serviks, dan beberapa pemeriksaan lain yang
memerlukan alat dan bahan yang lebih canggih.
Tujuan pengobatan pada kasus pasangan infertil dengan sebab faktor imunologi ini
(adanya antibodi antisperma dengan titer tinggi) adalah untuk menurunkan titer
antibodi tersebut yaitu dengan jalan metode oklusi menggunakan kondom, metode
inseminasi intrauterin, metode imunosupresi menggunakan obat kortikosteroid,
metode pencucian sperma, penambahan protease IgA, dan penggunaan heparin dan
aspirin.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik