Entri Populer

kondisi psikis anak ayahnya bunuh diri

Written By iqbal_editing on Sabtu, 18 Maret 2017 | 01.16

Terkadang hidup memang berat. Misalnya dialami oleh anak yang kedua orang tuanya sering cekcok dan kemudian salah satunya memutuskan bunuh diri.

Apalagi jika kematian orang tuanya yang tragis, misalnya karena menggantung diri, kemudian dilihat oleh si anak. Ini seperti yang dialami anak dari Indra, pria yang nekat bunuh diri secara live di Facebook. Dilaporkan detiknews, jasad Indra dilaporkan baru ditemukan empat jam setelah siaran bunuh dirinya tersiar di Facebook.

Indra diduga melakukan tindakan bunuh diri ini pada pukul 10.00 WIB. "Pada sekitar jam 13.30 WIB, anak korban menemui ketua RT mengajak ke rumah korban. Namun sesampainya di dalam rumah korban, saksi melihat korban sudah dalam posisi tergantung," ujar Kasat Reskrim Polres Jaksel AKBP Budi Hermanto dalam keterangannya, Jumat (17/3/2017).

Hal ini ikut disayangkan dr Andri, SpKJ, FAPM dari RS Omni Alam Sutra. Anak yang menyaksikan sang ayah tewas secara tragis seperti ini berpotensi mengalami trauma. Apalagi jika benar ibu dari anak itu pergi meninggalkan keluarganya.

"Kalau sampai anak tidak mendapatkan pendampingan, tidak didukung, dia bisa beranggapan tidak punya siapa-siapa lagi dan tidak diperhatikan," katanya kepada detikHealth saat dihubungi, Sabtu (18/3/2017).

Yang paling dikhawatirkan, ini kemudian akan memicu gejala depresi pada si anak. "Nanti ketika dewasa bisa muncul ketidakpercayaan terhadap perkawinan atau interaksi antarmanusia karena orang yang melahirkan atau seharusnya merawatnya malah meninggalkannya," jelas dr Andri.

Mengingat anak telah kehilangan dua sosok terpenting dalam hidupnya, untuk itu diperlukan dukungan yang tak hanya menyeluruh tetapi juga kuat dari keluarga besarnya. dr Andri juga mendorong agar anak tersebut mendapatkan bantuan dari psikolog atau psikiater anak.


Jangankan melihat secara langsung, anak juga tidak dianjurkan untuk melihat tayangan bertema kekerasan seperti bunuh diri seperti ini, walaupun hanya lewat media massa karena juga dapat memicu trauma.

Menurut psikolog anak dari TigaGenerasi, Saskhya Aulia Prima, MPsi, beberapa waktu lalu, trauma yang dialami anak dari tayangan televisi maupun media sosial disebut dengan 'secondary trauma', di mana seseorang seakan-akan merasakan kejadian yang sebenarnya, meski hanya dilihat atau didengar saja.

Selain memberikan pendampingan, orang tua juga harus bersikap protektif, baik dalam memilih tayangan televisi maupun memantau penggunaan media sosial pada anak karena realitanya memang sulit mengontrol media sosial ataupun orang yang mengunggah gambar tersebut.

"Kita mesti hati-hati ketika meminjamkan gadget kita, karena anak itu punya keinginan tinggi. Kita bisa selektif atau hapus dulu histori di gadget," timpal Ratih Zulhaqqi, psikolog anak dan remaja kepada detikHealth.

Lantas bagaimana jika anak telanjur melihat foto-foto 'mengerikan' tersebut? "Tergantung orang dewasa merespons. Sudah kadung dilihat, responsnya biasa saja, nggak usah dibesar-besarkan, itu kondisi yang tidak perlu didramatisir dan diceritakan secara detail," ucap wanita yang juga berpraktik di RaQQi - Human Development & Learning Centre, Jakarta ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik