Entri Populer

cerpen labotarium angker

Written By iqbal_editing on Selasa, 18 April 2017 | 06.20

(Cerpen) Laboratorium Angker


            Banyak orang yang percaya dengan hal-hal mistis. Salah satunya, Chika. Chika selalu menghubungkan hal-hal ganjil yang terjadi di sekitarnya dengan alam ghaib. Entahlah, dia bilang, dia seperti bisa merasakan sesuatu yang berbeda dengan yang dirasakan orang lain. Chika sering bercerita pada temannya, Laras tentang pengalaman-pengalaman mistis yang pernah ia alami, seperti mendengar suara-suara yang memanggilnya saat tengah malam, saat ia melihat sekelebat bayangan putih melintas di depannya, dan lain-lain.
Laras bukanlah orang yang mudah percaya dengan takhayul ataupun cerita mistis seperti itu. Namun, karena Chika adalah temannya, jadi Laras mau tidak mau harus menjadi pendengar yang baik saat Chika bercerita. Laras tidak mudah percaya dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika dan akal sehat. Oleh karena itu, dia tidak pernah tertarik dengan segala macam hal-hal yang berbau ghaib. Disinilah  letak perbedaan antara Laras dan Chika, Laras lebih suka dengan hal-hal yang berkaitan dengan Jepang. Tidak seperti Chika yang lebih suka berkutat dengan DVD film-film horror dan koleksi novel horror favoritnya, Laras lebih suka menonton anime, ataupun mengoleksi manga.
***
“Ras, aku baru beli novel horror lagi loh. Kamu mau pinjem nggak?”
Yap, itulah Chika. Ternyata dia memang tidak mengerti kalau Laras tidak terlalu maniak dengan cerita horror seperti dia. Dan sekarang, dia mengganggu Laras yang sedang membaca komik Detective Conan.
“Nanti aja deh,Ka. Aku masih punya banyak komik yang belum aku baca.” jawab Laras dengan nada malas.
“Oke deh kalo gitu. Kalo kamu mau pinjem, bilang aja. Ceritanya seru loh,Ras. tentang misteri hantu-hantu di sekolah. Ceritanya itu, blablablabla...” ujar Chika dengan panjang lebar.
“Hm, kayaknya aku nggak perlu minjem novelmu deh,Ka. Kan udah kamu ceritain semua isinya barusan.”
“Ah, iya ya. Sorry deh, aku emang suka keasyikan kalo cerita tentang mistis, hehehe..”
“Dasar, Chika. Aku jadi tidak bisa konsentrasi baca komik ini.” batin Laras.
Tak lama kemudian, Bu Anisa masuk ke kelas. Oh, pelajaran biologi yang begitu membosankan bagi Laras. Untungnya ini jam pelajaran terakhir, ia erasa ingin cepat pulang ke rumah agar bisa menyelesaikan membaca komiknya. Sepanjang pelajaran biologi, dia hanya mendengarkan Bu Anisa berbicara kesana kemari. Karena dia sama sekali tidak mengerti dengan penjelasan yang diberikan Bu Anisa.
            “Chika, bisa tolong ambilkan mikroskop di laboratorium biologi?” tanya Bu Anisa ke Chika.
            “Baik, bu.”
            Chika pun beranjak dari kursinya di sebelah Laras, dan berjalan keluar. Beberapa menit kemudian, Chika pun kembali ke kelas dengan membawa sebuah mikroskop ditangannya. Namun, sepertinya ada yang lain dari Chika, wajahnya berubah pucat. Hm, mungkin Chika sakit karena begadang menyelesaikan membaca novel horror barunya itu? Dan kini, Chika sudah duduk di sebelah Laras. Laras sepertinya ingin bertanya ke Chika, tapi dia tidak berani, karena jika ketahuan oleh Bu Anisa ada dua orang muridnya yang berbicara selagi ia menjelaskan, maka mereka akan mendapat omelan yang lebih dahsyat dari ocehannya sekarang.
            Laras melirik jam tangan biru mudanya yang menunjukkan pukul 16.30, masih 30 menit lagi bel pulang. “Mengapa waktu berjalan begitu lama pada jam pelajaran?” batinnya. Jadi, selama itu dia hanya bisa berpura-pura mendengarkan dan kadang-kadang menggambar karakter baru untuk komik buatannya.
            “TENG! TENG! TENG!”
            Akhirnya... Suara bel membuyarkan lamunan Laras dan langsung memberinya semangat lagi. Terpancar aura kelegaan di wajah Laras setelah melewati 30 menit penuh penderitaan terberat baginya. Ia pun segera memasukkan buku-buku pelajarannya ke dalam tas dan berdiri untuk mengambil helm di lemari.
            “Ras, temenin aku ke lab yuk. Bu Anisa nyuruh aku balikin mikroskop ini.” kata Chika sambil menepuk pundak Laras.
            “Oke, tapi jangan lama-lama ya. Aku mau cepet pulang ke rumah, lalu nyelesain  baca komik ini.” balasnya sambil memegang komik Detective Conan.
            “Iya, ngapain lama-lama disana. Aku juga nggak betah lama-lama disana.”
            “Ya udah, ayo.”
            Mereka pun berjalan melewati lorong sekolah yang sudah mulai sepi. Laboratorium Biologi di sekolah mereka memang terletak di ujung, dekat halaman belakang sekolah, dan  berdampingan dengan Lab Kimia dan Lab Fisika. Laras pun teringat dengan pertanyaan yang tadi mau ditanyakannya ke Chika. Saat dia menoleh ke arah Chika, dia melihat wajah Chika masih tampak pucat.
            “Kenapa muka kamu pucat,Ka? Kamu sakit?” tanya Laras.
            “Ngg.. Ntar aja deh aku ceritanya,Ras.”
            Mereka pun sampai di depan lab biologi. Chika membuka kunci lab dan langsung masuk sambil membawa mikroskop itu. Sedangkan Laras menunggu di meja coklat tua dekat tempat penyimpanan mikroskop sambil membaca komiknya. Saat Chika sudah selesai menyimpan mikroskop, dia pun beranjak dari meja dan berdiri di depan lemari kaca tempat penyimpanan alat-alat praktikum. Laras berkaca untuk sekedar merapikan rambutnya. Setelah itu,mereka pun keluar dari lab dan menuju tempat parkir untuk mengambil motor.
            Saat di tempat parkir, Laras tersadar sepertinya dia melupakan sesuatu. Oh tidak, komiknya tertinggal di lab biologi! Dia lupa memasukkannya ke dalam tas. “Pasti komikku ada di meja dekat lemari kaca itu.” kata Laras dalam hati. Terpaksalah dia mengambil komik itu, karena memang komik itu yang daritadi ingin cepat ia selesaikan.
            “Ka, kunci lab bio belum kamu balikin ke penjaga sekolah kan?” tanya Laras.
            “Baru mau aku balikin,Ras. Sekalian pas kita lewat nanti deh.”
            “Aku pinjem bentar dong. Komik Detective Conan-ku ketinggalan di meja dekat lemari kaca tadi.”
            “Besok aja ngambilnya,Ras. Sekolah udah sepi nih. Kamu nggak takut?”
            “Nggak ah, aku mau baca komik itu sekarang. Ngapain juga takut? Nggak ada yang perlu ditakutin kok.”
            “Kamu nggak tau,Ras. Tadi, waktu aku disuruh Bu Anisa ngambil mikroskop, aku ngerasa ada yang aneh di lab itu. Aku ngeliat ada sesosok laki-laki disana. Dia memperhatikan aku, dan aku sadar kalo tubuh laki-laki itu tembus pandang. Kamu liat tadi muka aku pucat kan? Makanya pas balikin mikroskop tadi, aku minta temenin sama kamu.”
            “DEG!” jantung Laras berdegup keras mendengar kata-kata Chika.
“Ah, cuman perasaan kamu aja kali,Ka. Di dunia ini nggak ada yang namanya hantu, setan, atau apalah itu. Udah deh, cepetan mana kuncinya? Kalo kamu nggak mau nemenin aku lagi ke lab itu, nggak apa-apa kok, aku bisa sendiri” kata Laras.
            “Terserah kamu aja deh,Ras. Nih kuncinya. Aku tunggu disini aja”
            “Ya udah kalo gitu.” katanya sambil meninggalkan Chika di parkiran.
            Laras pun berjalan lagi ke arah lab biologi. Dan kali ini, suasana lorong sekolah benar-benar sudah sepi. Tidak ada lagi anak-anak yang duduk di depan kelas, ataupun yang bermain basket di lapangan. Laras pun berjalan dengan keraguan dalam benaknya, dia teringat dengan perkataan Chika tadi.
“Ah, kenapa aku jadi parno begini? Tidak biasanya aku merasa ragu, dan perasaan ku menjadi tidak enak seperti ini.” ujar Laras dalam hati.
            Dilihatnya lagi jam tangan di lengan kanannya, sudah menunjukkan pukul 17.15. Ia pun memutuskan untuk mempercepat langkahnya. Dan kini, ia sudah ada di depan lab biologi. Dengan ragu di membuka kunci lab biologi itu. Setelah terbuka, ternyata suasananya terasa lebih suram daripada saat ia masih bersama Chika tadi. Ia pun segera menuju ke meja dekat lemari kaca tempat ia membaca komiknya tadi. Tapi, dia tidak mendapatkan apa pun di atas meja itu. Padahal rasanya tadi memang dia letakkan di atas meja coklat yang sudah agak tua itu. Dia mencoba membongkar tasnya, tapi ia juga tidak mendapatkan komiknya di dalamnya. Saat ia sudah selesai merapikan tasnya, matanya kembali tertuju ke lemari kaca di dekat meja itu. Saat ia melihat pantulan bayangannya di kaca itu, ia melihat sekelebat bayangan putih yang lewat di belakangnya
            “Kreekk.. Krekk..”
            “Suara apa itu? Seperti suara benda bergerak.” batinnya.
 Dia melihat sekelilingnya, matanya tertuju pada miniatur rangka manusia yang ada di pojokan ruangan lab. Tangan tengkorak itu sedikit bergoyang. Padahal tidak ada angin masuk yang sekiranya cukup untuk menggoyangkan tangan tengkorak itu. Mungkinkah?
  Laras pun merasakan seperti ada angin semilir yang berhembus di belakang lehernya. Dan kini, bulu kuduknya sudah mulai merinding. Dia pun berjalan mundur dengan ragu-ragu, dan..
            “Brakkk!”
            “Kyaaaaa!!!” teriaknya spontan.
Oh, ternyata tangannya menyenggol rak tabung reaksi. Huuh, untunglah.. Ia mengira ada seseorang yang menyenggol rak tabung reaksi itu. Dia pun merapikan lagi rak tabung reaksi yang tadi disenggolnya. Setelah itu, ia berusaha mempercepat untuk menemukan komiknya
. “BINGO! Itu dia!” katanya.
 Seperti melihat harta karun, Laras pun berlari ke tempat penyimpanan mikroskop. Komiknya ada di atas salah satu kotak mikroskop tersebut. Rasanya, tadi komik itu ia letakkan di meja. Mengapa bisa jadi pindah ke atas kotak mikroskop? Tidak mungkin komik itu pindah dengan sendirinya. Dan ia yakin tadi sudah mencarinya kesana, dan tidak menemukan apapun.
            Tempat penyimpanan mikroskop itu berada di ujung ruangan, di dekat jendela yang mengarah langsung ke halaman belakang sekolah. Setelah memasukkan komiknya ke dalam tas, Laras pun memandang ke arah jendela itu. Betapa terkejutnya dia, tepat di jendela itu, ada bayangan seorang laki-laki dengan wajah yang pucat, matanya melotot, dan tersenyum menyeramkan kepadanya.
            Laras seperti ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan, tidak bisa keluar. Maka, ia pun berlari menuju ke pintu lab. Tapi, pintunya terkunci!! Dia mencoba membuka pintu itu, tapi tidak bisa. Dia terus menggedor-gedor pintu itu sekuat tenaga sambil mencoba berteriak, berharap ada orang lewat yang bisa mendengar suaranya dan membukakan pintu itu. Sepertinya sudah tidak ada orang lagi. Dia menoleh ke jendela dekat tempat mikroskop itu. Bayangan laki-laki itu masih ada disana, tetap memperhatikannya!
            “Tolooong!!! Tolong buka pintunya!!” akhirnya suaranya keluar!
Tapi, tidak ada jawaban dari luar. Lututnya terasa lemas, ia pun hanya bisa terduduk sambil terus menggedor-gedor pintu. Ia merogoh saku tasnya untuk mencari HP. Setelah ia dapatkan, ia langsung memencet nomor HP Chika. Chika pasti masih menunggunya di parkiran. Namun, belum sempat ia berbicara dengan Chika, handphonenya tiba-tiba mati. Akh, sial! Laras lupa men-charge handphonenya tadi malam. Sekarang ia hanya bisa pasrah, dan terus menggedor-gedor pintu.
Rasa lelah mulai menghampiri Laras. Keringat dingin terus bercucuran dari dahinya. Ia melihat lagi bayangan laki-laki itu, yang kini mulai mendekat ke arahnya. Bayangan laki-laki itu tersenyum dan menyeringai kepadanya. Jantung Laras berdegup dengan keras. Ia tidak tau harus berbuat apa. Ia ingin membaca ayat kursi, tapi bibirnya terasa kaku. Laras pun hanya tertunduk, terdiam, dan tiba-tiba kesadarannya mulai hilang...

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik