Entri Populer

cerpen labotarium sekolah

Written By iqbal_editing on Selasa, 18 April 2017 | 05.50

Angga langsung menghunuskan pedangnya saat Ia mengetahui kalau peluru revolvernya habis. Dengan cekatan, dia langsung mengayunkan pedang itu ke leher para monster menjijikkan dan menebasnya dengan cepat.
Tidak berguna, sebenarnya. Monster itu membelah diri. Jika dibunuh, malah meningkatkan jumlahnya. Namun Angga tak bisa melakukan apapun selain menebas kepala monster itu untuk membuat jalan keluar dari laboratorium sekolahnya.
Ya, entah bagaimana caranya, saat Angga tengah sibuk berurusan dengan tabung-tabung kimia yang akan menjadi penentu nilai akhir, tiba-tiba saja lantai bergetar. Awalnya Angga mengira kejadian itu adalah gempa bumi, namun pemikiran itu segera tercoreng saat dia melihat lantainya terbuka (dalam artian sebenarnya) dan memunculkan sebuah tangan menjijikkan. Sekali lagi Angga mengira itu hanyalah sebuah tangan, namun ternyata tangan itu tersambung dengan tubuh yang menjijikkan pula.
Oh, soal pedang dan revolver, itu ternyata memang sudah disediakan. Iya, disediakan. Angga yang hampir saja meminum cairan kimianya karena tidak tahan menerima realita hidup terpaksa menghentikan aksinya saat dia melihat dindingnya terbuka dan mengeluarkan sebuah layar lebar.
“Selamat, kau terpilih.” Suara itu keluar dari layar lebar bersamaan dengan munculnya wajah seorang lelaki tua.
“Ini adalah percobaan. Jika kau berhasil memusnahkan para monster itu, maka kau bisa maju ke babak selanjutnya.”
Angga mengernyit. Apa-apaan? Pikirnya. Memainkan nyawa manusia dan menyebutnya sebagai percobaan, apa yang dipikirkan oleh pria tua itu?.
“Jangan bingung, karena itu tidak lagi berguna. Sekarang, pilihanmu hanya dua. Hidup, atau mati. Hidup dan melanjutkan percobaan ini, atau mati sia-sia dan menjadi makan siang mereka. Di laci meja sudah disediakan sebuah pistol dengan peluru penuh, dan di sebelah laci ada sebuah pedang. Gunakan sepuasmu. Jangan takut salah tembak ke luar ruangan, karena semua orang yang ada di sekolahmu sudah dievakuasi.
“Evakuasi? Ini bukan tanah longsor, tahu! Kau ini siapa?!” Angga berteriak, tak sadar kalau dia hanya berteriak pada sebuah layar.
“Semoga beruntung.”
Dan layar mati. Hebat sekali. Andai Angga bisa mengunyah layar itu.
Kembali pada kenyataan, kini Angga tengah kewalahan menghadapi monster tidak berakal itu. Penggal sana, tumbuh sini, penggal sini, tumbuh sana. Bagaimana bisa habis kalau siklusnya terus berulang?
Oh, seharusnya Angga benar-benar meminum cairan kimia itu.
“Berhentilah! Berhentilah! Tidakkah kalian tahu kalau kalian itu sudah mati? Tidakkah kalian tahu kalau kalian itu sudah masuk kubur? Kenapa kalian ada di sini? Kalian tidak betah dengan kubur kalian? Kalian tidak betah? Di kubur memang tak ada TV, tapi setidaknya jangan menyerangku di sini! Berhentilah, wahai para mayat yang kabur dari kuburnya! Berhentilah! Aku sudah tidak tahan!”
Ha, tidak berguna sama sekali.
Angga akhirnya menyerah. Dia sudah benar-benar tidak tahan dengan realita hidupnya. Apa salahnya? Apa dosanya? Dia hanya memakai laboratorium ini untuk nilai ujian praktik kimia, bukan untuk menjalani percobaan atau simulasi atau tes atau ujian atau semacam itu dan mempertaruhkan nyawanya. Apa salahnya?
“Angga,”
Bagus, sekarang Malaikat Maut sudah memanggilnya.
“Angga!”
Cabut saja, cabut.
“Angga!”
Iya! Ini Angga! Cabut saja nyawaku langsung kenapa, sih?
“WOI ANGGA!”
Angga terlonjak.
“Kamu ngapain, sih? Tidur ya tidur, gak usah gerak-gerak!”
… Eh?
“Tidur? Aku tidur? AKU TIDUR?!” Angga bangun dari kasurnya dan menarik kerah baju Bimo -lelaki yang tadi meneriaki namanya.
“… Kamu kenapa, sih? Mimpi apa kamu jadi sampai sengklek begini?”
“Tadi, Bim, ‘kan aku di laboratorium sekolah, tuh. Terus ternyata lantainya kebuka, terus muncul zombie! Pas aku mau bunuh diri, ternyata dindingnya kebuka, terus kayak munculin layar lebar, gitu, Bim! Muncul bapak-bapak tua, dia bilang aku lagi masuk percobaan, terus-”
“Stop!” Bimo memotong dengan cepat cerita Angga.
“Kenapa?”
“Seratus persen kamu itu mimpi, ‘Ngga. Lihat sekeliling kamu, gak ada zombie, gak ada bapak-bapak, gak ada laboratorium. Udah deh.”
“Tapi yang tadi itu-”
“Kamu itu jadi mimpi gitu karena kebanyakan nonton Walking Dead. Terus kenapa muncul bapak-bapak tua, palingan karena kamu tadi pagi dihukum Pak Arif keliling lapangan, makanya bawa perasaan sampai sekarang. Udah ah, kamu ini aneh-aneh aja. Ganggu.”
Bimo kembali ke kasurnya dan terlelap, meninggalkan Angga yang termangu.
Kalau semuanya mimpi, lantas mengapa kini tangannya memegang sebilah pedang di bawah selimut?
“Selamat, kau lulus percobaan pertama. Kini, selamat datang di percobaan kedua. Semoga beruntung, dan berjuanglah.”
Cerpen Karangan: Jamilatuzzahra

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik