Entri Populer

Operasi pengangkatan tumor dalam keadaan pasien sadar sudah lazim dilakukan di luar negeri. Namun di Indonesia, prosedur ini masih tergolong baru. Salah satunya yang dilaksanakan di Surabaya baru-baru ini. Adalah seorang mahasiswi asal Yogyakarta yang kedapatan memiliki tumor di otaknya pada pertengahan 2017. Akibat sering mengalami nyeri kepala, ia, sebut saja DA, pun memutuskan untuk memeriksakan diri. Oleh dokter yang merawatnya, DA dirujuk untuk mendapatkan penanganan dari seorang ahli bedah saraf di Surabaya. Operasi pun digelar pada tanggal 11 Juli lalu di RSI Jemursari, di bawah penanganan tim yang dipimpin oleh dr Irwan Barlian, SpBS (K). Ditemui baru-baru ini, dr Irwan mengatakan alasan memilih metode awake brain surgery adalah karena gambaran tumor yang dilihatnya dari hasil scan MRI pasien. "Kami curiganya itu glioma. Dia tumbuh batasnya dengan otak ndak jelas. Jadi ndak bisa dibedakan ini antara otak sehat ataupun jaringan tumor," jelasnya kepada detikHealth. Namun dengan metode awake brain surgery, di mana pasien disadarkan selama operasi berlangsung, maka ia dan timnya dapat menemukan batas itu sekaligus mengangkat tumor semaksimal mungkin. Baca juga: Jalani Operasi Otak Sambil Main Gitar? Orang-orang Ini Pernah Mengalaminya Bagaimana memastikan tim dokter mengambil tumor yang tepat? "Kita pake alat namanya intraoperative nerve monitoring (IONM). Ini untuk merekam gelombang otaknya, termasuk . Dari situ kita bisa lihat gelombang otak dari fungsi motorik seperti tangan dan kaki. Kalau terjadi penurunan gelombang, berarti itu sudah mulai terjadi gangguan," terangnya. Akan tetapi dr Irwan memastikan justru dengan cara seperti ini, kesalahan atau komplikasi yang mungkin terjadi pada saat operasi dapat diminimalisir bahkan dihindari. Artinya metode ini jauh lebih aman daripada prosedur operasi pengangkatan tumor biasa. Selepas operasi yang menghabiskan waktu selama 5-6 jam itu, dr Irwan mengaku dapat mengangkat 80-90 persen tumor dari otak si pasien. "Susah untuk mengambil 100 persen karena nanti pasti muncul gangguan. Sisanya akan dilakukan kemoterapi atau radiasi, tapi ini juga tergantung nanti hasil patologi," lanjutnya. DA dites membaca cerita dari ponsel saat operasi berlangsung. (Foto: Tim dr Irwan Barlian, SpBK (K)DA dites membaca cerita dari ponsel saat operasi berlangsung. (Foto: Tim dr Irwan Barlian, SpBK (K) Dokter yang berpraktik di RSUD Dr Soetomo dan RSI Jemursari ini menambahkan timnya menggunakan teknik pembiusan khusus agar DA tidak merasakan nyeri sama sekali saat operasi. Ia menyebutnya dengan teknik 'sleep awake sleep'. "Pertama dia harus tidur untuk membuka kulit dan tulang kepalanya, itu kan butuh waktu dan sangat nyeri. Nanti setelah kita ketemu tumor, baru kita bangunkan. Dari 5-6 jam itu krusialnya sekitar 3-4 jam, itu dia bangun. Pada saat selesai mengambil tumor, pasien itu ditidurkan lagi, jadi dia nggak merasakan sakit waktu dijahit," paparnya. Pada saat bangun itulah, gelombang otak DA dievaluasi dengan cara diajak bicara dan diberi beragam pertanyaan. Kebetulan kakak DA juga seorang dokter. Sang kakak diminta membantu tim dokter untuk masuk ke ruang operasi dan mengajak adiknya ngobrol. "Kita tanya berapa 5x5, kita suruh cerita, kita suruh baca di handphone, dia jawab bagus terus," ungkap dr Irwan. Namun pada satu titik, terutama saat timnya berhasil mengambil tumor dalam volume yang cukup banyak, tiba-tiba gelombang otak DA mulai melemah. "Waktu itu dia dikasih pertanyaan jawabannya agak lambat, berarti dia kita sudah harus berhenti. Itu kalau kita lanjutkan, setelah operasi dia nggak akan bisa ngomong lagi," tambahnya. Baca juga: Jalani Operasi Otak Sambil Main Gitar? Orang-orang Ini Pernah Mengalaminya (2) dr Irwan mengakui meski awake brain surgery merupakan prosedur rutin di luar negeri, namun di Indonesia prosedur ini masih terbilang langka. Pertama karena belum banyak dokter bedah yang menguasainya, begitu juga dengan teknik pembiusannya. Selain itu, peralatan yang dipergunakan juga mahal. Untuk itu, menurut dr Irwan, prosedur ini mungkin baru bisa dilaksanakan di kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, itupun di rumah sakit tertentu. "Biasanya kalau yang pake awake itu kasus-kasus Parkinson. Cuma untuk kasus tumor sangat jarang, di Surabaya ini yang kedua. Yang pertama di Soetomo tahun 2014," pungkasnya.(lll/up)

Written By iqbal_editing on Kamis, 27 Juli 2017 | 23.57

Operasi pengangkatan tumor dalam keadaan pasien sadar sudah lazim dilakukan di luar negeri. Namun di Indonesia, prosedur ini masih tergolong baru. Salah satunya yang dilaksanakan di Surabaya baru-baru ini.

Adalah seorang mahasiswi asal Yogyakarta yang kedapatan memiliki tumor di otaknya pada pertengahan 2017. Akibat sering mengalami nyeri kepala, ia, sebut saja DA, pun memutuskan untuk memeriksakan diri.

Oleh dokter yang merawatnya, DA dirujuk untuk mendapatkan penanganan dari seorang ahli bedah saraf di Surabaya. Operasi pun digelar pada tanggal 11 Juli lalu di RSI Jemursari, di bawah penanganan tim yang dipimpin oleh dr Irwan Barlian, SpBS (K).

Ditemui baru-baru ini, dr Irwan mengatakan alasan memilih metode awake brain surgery adalah karena gambaran tumor yang dilihatnya dari hasil scan MRI pasien.

"Kami curiganya itu glioma. Dia tumbuh batasnya dengan otak ndak jelas. Jadi ndak bisa dibedakan ini antara otak sehat ataupun jaringan tumor," jelasnya kepada detikHealth.Baca juga: Jalani Operasi
Bagaimana memastikan tim dokter mengambil tumor yang tepat? "Kita pake alat namanya intraoperative nerve monitoring (IONM). Ini untuk merekam gelombang otaknya, termasuk . Dari situ kita bisa lihat gelombang otak dari fungsi motorik seperti tangan dan kaki. Kalau terjadi penurunan gelombang, berarti itu sudah mulai terjadi gangguan," terangnya.

Akan tetapi dr Irwan memastikan justru dengan cara seperti ini, kesalahan atau komplikasi yang mungkin terjadi pada saat operasi dapat diminimalisir bahkan dihindari. Artinya metode ini jauh lebih aman daripada prosedur operasi pengangkatan tumor biasa.

Selepas operasi yang menghabiskan waktu selama 5-6 jam itu, dr Irwan mengaku dapat mengangkat 80-90 persen tumor dari otak si pasien. "Susah untuk mengambil 100 persen karena nanti pasti muncul gangguan. Sisanya akan dilakukan kemoterapi atau radiasi, tapi ini juga tergantung nanti hasil patologi," lanjutnya.

DA dites membaca cerita dari ponsel saat operasi berlangsung. (Foto: Tim dr Irwan Barlian, SpBK (K)DA dites membaca cerita dari ponsel saat operasi berlangsung. (Foto: Tim dr Irwan Barlian, SpBK (K)

Dokter yang berpraktik di RSUD Dr Soetomo dan RSI Jemursari ini menambahkan timnya menggunakan teknik pembiusan khusus agar DA tidak merasakan nyeri sama sekali saat operasi. Ia menyebutnya dengan teknik 'sleep awake sleep'.

"Pertama dia harus tidur untuk membuka kulit dan tulang kepalanya, itu kan butuh waktu dan sangat nyeri. Nanti setelah kita ketemu tumor, baru kita bangunkan. Dari 5-6 jam itu krusialnya sekitar 3-4 jam, itu dia bangun. Pada saat selesai mengambil tumor, pasien itu ditidurkan lagi, jadi dia nggak merasakan sakit waktu dijahit," paparnya.

Pada saat bangun itulah, gelombang otak DA dievaluasi dengan cara diajak bicara dan diberi beragam pertanyaan. Kebetulan kakak DA juga seorang dokter. Sang kakak diminta membantu tim dokter untuk masuk ke ruang operasi dan mengajak adiknya ngobrol.

"Kita tanya berapa 5x5, kita suruh cerita, kita suruh baca di handphone, dia jawab bagus terus," ungkap dr Irwan.

Namun pada satu titik, terutama saat timnya berhasil mengambil tumor dalam volume yang cukup banyak, tiba-tiba gelombang otak DA mulai melemah. "Waktu itu dia dikasih pertanyaan jawabannya agak lambat, berarti dia kita sudah harus berhenti. Itu kalau kita lanjutkan, setelah operasi dia nggak akan bisa ngomong lagi," tambahnya.


dr Irwan mengakui meski awake brain surgery merupakan prosedur rutin di luar negeri, namun di Indonesia prosedur ini masih terbilang langka. Pertama karena belum banyak dokter bedah yang menguasainya, begitu juga dengan teknik pembiusannya. Selain itu, peralatan yang dipergunakan juga mahal.

Untuk itu, menurut dr Irwan, prosedur ini mungkin baru bisa dilaksanakan di kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, itupun di rumah sakit tertentu.

"Biasanya kalau yang pake awake itu kasus-kasus Parkinson. Cuma untuk kasus tumor sangat jarang, di Surabaya ini yang kedua. Yang pertama di Soetomo tahun 2014," pungkasnya.(lll/up)

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik