Entri Populer

klasifikasi ,komplikasi dan pemeriksaan penunjang myastenia gravis

Written By iqbal_editing on Rabu, 26 Oktober 2016 | 06.10

Klasifikasi Miastenia gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA):
1.       Klas I, kelemahan otot okular dan gangguan menutup mata, otot lain masih normal
2.       Klas II, kelemahan ringan pada otot selain okular, otot okular meningkat kelemahnnya
3.       Klas IIa, mempengaruhi ekstermitas, sedikit mempengaruhi otot-otot oropheringeal
4.       Klas IIb, mempengaruhi otot-otot pheringeal dan pernafasan juga ekstermitas
5.       Klas III, klemahan sedang pada otot selain okuler, meningkatnya kelemahan pada otot okuler
6.       Klas IIIa, memepengaruhi ekstermitas, sedikit mempengaruhi otot-otot pharyngeal
7.       Klas IIIb, mempengaruhi otot-otot pharyngeal dan pernafasan juga ekstermitas
8.       Klas IV, kelemahan berat pada selain otot okuler, kelemahan berat pada otot okuler
9.       Klas IVa, mempengaruhi ekstermitas, sedikit pengaruh pada otot-otot oropharingeal
10.    Klas IVb, terutama mempengaruhi otot-otot pernafasan dan oropharingeal juga ekstermitas
11.    Klas V, pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operativ)
KOMPLIKASI
Apabila terdapat perburukan dari Miastenia gravis tentunya akan memunculkan beberapa komplikasi yang bermakna, selain diperoleh dari risiko yang mungkin meningkatkan keparahan penyakit ini, pengobatan dan perawatan yang terlambat juga bermakna pada tejadinya perburukan kondisi (Corwin, 2009). Beberapa komplikasi yang dapat muncul diantaranya:
1.      Krisis miasnetik
Ditandai dengan pemburukan fungsi otot rangka yang berakibat pada gawat nafas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh.
2.      Krisis kolinergik
Merupakan respon toksik yang ditemukan pada penggunaan obat antikolinesterase yang terlalu banyak. Tanda hiperkolinergik ditandai dengan peningkatan motilitas usus, berkeringat dan diare.
G.    PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DAN PENUNJANG
Penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut (Ngurah, 1991) :
1.      Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang, penderita menjadi anartris dan afonis.
2.      Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
3.      Uji Tensilon (edrophonium chloride), untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
4.      Uji Prostigmin (neostigmin), pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
5.      Uji Kinin, diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg, 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pasti:
1.      Pemeriksaan Laboratorium
a)      Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien, 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody (Howard, 2008).
b)      Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
c)      Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
d)     Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.
2.      Imaging
a)      Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum
b)      Chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
c)      MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
3.       Pendekatan Elektrodiagnostik, dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik :
a)       Repetitive Nerve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
b)       Single-fiber Electromyography (SFEMG), menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik