Entri Populer

Welcome Guys

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

contoh thorax penderita COPD

Written By iqbal_editing on Rabu, 31 Agustus 2016 | 03.10


Ini adalah Foto Thorax dengan pasien COPD. Kedua lapangan paru terlihat lebih hitam dan lebih besar secara volume dibandingkan dengan gambaran normal. Hemidiafragma terlihat rata dan pada bagian tengah dan terdapat bullae di bagian tengah paru. Lebih sedikit pembuluh darah yang terlihat secara peripheral terutama di bagian atas dan tengah, tetapi arteri pulmonari terlihat besar di pertengahan, menandakan adanya perkembangan hipertensi arterial pulmonari lanjutan.

Jika kita mau menentukan penyebab adanya bayangan hitam pada kedua lapangan paru, maka yang perlu kita perhatikan adalah :

Perhatikan masalah daya tembus. Lihat pada corpus vertebrae yang berada di belakang jantung. Ingat bahwa sinar-x yang daya tembusnya besar akan memberikan gambaran corpus vertebrae lebih keras di belakang bayangan jantung. Jika corpus vertebrae tersebut terlihat sangat jelas, maka ini berarti daya tembus sinar-x terlalu tinggi. Hal ini akan menyebabkan gambaran paru terlihat hitam. Jika ini terjadi maka COPD tidak bisa dinilai karena penyebab gambaran paru terlihat hitam bukan karena penyakit tetapi karena over expose.

Namun jika kita merasa bahwa faktor eksposi yang kita gunakan sudah tepat, maka penyebab gambaran hitam pada kedua lapangan paru kebanyakan adalah karena COPD. COPD ditandai dengan pembesaran paru-paru yang disebabkan karena adanya udara yang terjebak dan berkembangnya bullae (bullae adalah istilah medis untuk gelembung yang dilapisi oleh kulit dan didalamnya terpat udara atau cairan). Untuk memastikan bahwa ini COPD maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Hitung jumlah costae yang telihat secara anterior. Jika paru-paru membesar, maka kita dapat menghitung costae lebih dari tujuh. Hati-hati dalam perhitungan ini, sebab kadang-kadang pada pasien normal, kita juga dapat menghitung costae lebih dari tujuh.

2. Lihat bentuk diafragma. Pada kasus COPD diafragma terlihat flat bahkan kadang-kadang membuka ke atas. Hal ini lebih memudahkan dalam penandaan adanya hiper ekspansi daripada menghitung jumlah costae.

3. Lihat bentuk dari jantung. Thorax yang mengalami pelebaran pada kasus COPD akan membuat sinar-x menjadikan jantung menjadi elongasi dan terlihat mengecil, terangkat dari batas bawahnya.

4. Lihat Bullae. Terdapat daerah hitam yang jelas pada paru-paru biasanya terlihat melingkar, dikelilingi oleh bayangan garis rambut. Bullae menekan paru-paru normal dan menyimpangkan pembuluh-pembuluh darah yang berada disekeliling paru-paru jadi untuk melihat bullae ini cari daerah yang terdapat penyimpangan pembuluh darah, biasanya di situ terdapat bullae.

5. Lihat tanda-tanda paru. Paru-paru yang hitam karena COPD biasanya diiringi oleh menurunnya tanda-tanda paru. Penurunan tanda-tanda paru ini terjadi pada kedua lapangan paru (bilateral) dan menyebar secara lurus mulai dari hilum yang menjadi pendek dan tebal hingga ke peripheral.

CONTOH FOTO THOEAX PENDERITA COPD
03.10 | 0 komentar | Read More

penatalaksanaan PPOK

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan tatalaksana
eksaserbasi, masing masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya (Lihat
Buku Penemuan dan Tatalaksana PPOK)
Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:
1. Pemberian obat obatan
a. Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi
digunakan oral atau sistemik
b. Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada
eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik
c. Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi.
Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat.
d. Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental.
e. Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan
secara rutin merupakan kontraindikasi.
2. Pengobatan penunjang
a. Rehabilitasi
b. Edukasi
c. Berhenti merokok
d. Latihan fisik dan respirasi
e. Nutrisi
3. Terapi oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang
atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati hati dapat menyebabkan
hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada
PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup
4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi
mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan
lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat
5. Operasi paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru
(masih dalam proses penelitian di negara maju)
6. Vaksinasi influensa
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi influensa
diberikan pada:
a. Usia di atas 60 tahun
b. PPOK sedang dan berat


03.06 | 0 komentar | Read More

DIAGNOSIA DAN KLASIFIKASI PPOK

Diagnosis dan Klasifikasi (Derajat) PPOK
Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis.
Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan
diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, sedang dan berat)
Diagnosis PPOK Klinis ditegakkan apabila:
1. Anamnesis:
a. Ada faktor risiko
– Usia (pertengahan)
– Riwayat pajanan
§ Asap rokok
§ Polusi udara
§ Polusi tempat kerja
b. Gejala:
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi
ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai
gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.
– Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak
hilang dengan pengobatan yang diberikan
– Berdahak kronik
Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus
tanpa disertai batuk
– Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas
yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak
napas sesuai skala sesak
Skala Sesak
Skala sesak Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian
2. Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas
terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat
hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK
derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan
bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
Inspeksi
– Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
– Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)
– Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
– Pelebaran sela iga
Perkusi
– Hipersonor
Auskultasi
– Fremitus melemah,
– Suara nafas vesikuler melemah atau normal
– Ekspirasi memanjang
– Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
– Ronki
3. Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara
lain :
– Radiologi (foto toraks)
– Spirometri
– Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah
terjadi hipoksia kronik)
– Analisa gas darah
– Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi
eksaserbasi)
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada
PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk
menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan
diagnosis banding dari keluhan pasien.
Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :
– Paru hiperinflasi atau hiperlusen
– Diafragma mendatar
– Corakan bronkovaskuler meningkat
– Bulla
– Jantung pendulum
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan
berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada
seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.
Catatan:
Untuk penegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan adanya
asma bronkial, gagal jantung kongestif, TB Paru dan sindrome obstruktif
pasca TB Paru. Penegakkan diagnosis PPOK secara klinis dilaksanakan di
puskesmas atau rumah sakit tanpa fasilitas spirometri. Sedangkan penegakan
diagnosis dan penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Gold tahun 2005, dilaksanakan
di rumah sakit / fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki spirometri.
b. Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK
Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Gold tahun 2005 sebagai
berikut :
1. PPOK Ringan
Gejala klinis:
– Dengan atau tanpa batuk
– Dengan atau tanpa produksi sputum.
– Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri:
– VEP1 • 80% prediksi (normal spirometri) atau
– VEP1 / KVP < 70%
2. PPOK Sedang
Gejala klinis:
– Dengan atau tanpa batuk
– Dengan atau tanpa produksi sputum.
– Sesak napas : derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri:
– VEP1 / KVP < 70% atau
– 50% < VEP1 < 80% prediksi.
3. PPOK Berat
Gejala klinis:
– Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik.
– Eksaserbasi lebih sering terjadi
– Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri:
– VEP1 / KVP < 70%,
– VEP1 30% dengan gagal napas kronik
Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa
gas darah, dengan kriteria:
– Hipoksemia dengan normokapnia atau
– Hipoksemia dengan hiperkapnia
03.03 | 0 komentar | Read More

contoh ronsen pasien pendirta pneunomo thorax


02.36 | 0 komentar | Read More

pneunomothorax

Pengertian Pneumothorax Pneumothoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada.
Pneumothorax dapat terjadi secara spontan / akibat trauma tembus atau tidak tembus. pneumothorax disebabkan oleh penyakit dasar seperti tuberkulosis paru disertai fibraosis atau emfisema lokal, bronkitis kronis dan emfisema.

  1. B.       Etiologi
Pneumothoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik dan klasifikasi pneumothoraks berdasarkan penyebabnya dibagi sebagai berikut :
  1. Pneumothoraks spontan
Pneumothoraks spontan adalah setiap pneumothoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab
  • Pneumothoraks spontan primer (PSP)
Adalah suatu pneumothoraks yang terjadi tanpa ada riwayat penyakit paru yang mendasari sebelumnya, umumnya pada individu sehat, dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktivitas fisis yang berat tetapi justru terjadu pada saat istirahat dan sampai sekarang belum diketahui penyebabnya.
  • Pneumothoraks spontan sekunder (PSS)
Adalah suatu pneumothoraks yang terjadi karena penyakit paru yang mendasarinya (tuberkulosis paru, PPOK, asma bronkial dsb)
  1. Pneumothoraks traumatik
Pneumothoraks traumatik adalah pneumothoraks yang terjadi akibat suatu penetrasi kedalam rongga pleura karena luka tusuk atau luka tembak atau tusukan jarum. Pneumothoraks traumatik juga ada 2 jenis yaitu
  • Pneumothoraks traumatik bukan iatragenik
Adalah pneumothoraks yang terjadi karena jelas kecelakaan misalnya jajar dinding dada terbuka / tertutup.

  • Pneumothoraks traumatik iatragenik
Adalah pneumothoraks yang terjadi akibat tindakan medis. Penumothoraks jenis ini masih dibedakan menjadi 2. pneumothoraks traumatik iatragenik aksidental dan pneumothoraks traumatik iatrogenik arti fisial (deliberate)

  1. C.       Patofisiologi
 1. gangguan pemenuhan nutrisi
2, traumatik
3, spontan
4. gangguan pada nafas
5. ketidakefektifan jalan nafas
6. nyeri dada
7,  peningkatan ekanan intra plumonia
8. perobekan pleula
9.  expansi paru menurun
10. obstruksi check value
11. alveouli pecah
12. udara masuk dalam kavum pleura
  1. D.       Gejala Klinis
Keluhan subyektif
  1. Nyeri dada pada sisi
  2. Sesak dapat sampai berat kadang bisa hilang dalam 24 jam apabila sebagian paru kolaps sudah mengembang kembali.
  3. Kegagalan pernapasan dan mungkin pula disertai sianosis.
  4. Kombinasi keluhan dan gejala klinis pneumothoraks sangat tergantung pada besarnya lesi penumothoraks.
Menurut Mills dan Luce pasien pneumothoraks spontan dapat asistomatik atau menimbulkan kombinasi nyeri dada batuk dispnea.

  1. E.     Komplikasi
Pneumothoraks tension ( terjadi pada 3-5% pasien pneumothoraks ), dapat mengakibatkan kegagalan respirasi akut, pio, pneumothoraks, hidro-pneumothoraks / hema – pneumothoraks, henti jantung paru dan kematian (sangat jarang terjadi) pneuma mediastinum dan emfisema subkutan sebagai akibat komplikasi pneumothoraks spontan.
Biasanya karena pecahnya esofagus atau bronkusi sehingga kelainan tersebut harus ditegakkan (insidennya sekitar 1%), pneumothoraks simulran bilateral, insidennya sekitar 2%; pneumothoraks kronik, bilateral ada selama waktu lebih dari 3 bulan, insidennya sekitar 5%.
  1. D.       Gejala Klinis
Keluhan subyektif
  1. Nyeri dada pada sisi
  2. Sesak dapat sampai berat kadang bisa hilang dalam 24 jam apabila sebagian paru kolaps sudah mengembang kembali.
  3. Kegagalan pernapasan dan mungkin pula disertai sianosis.
  4. Kombinasi keluhan dan gejala klinis pneumothoraks sangat tergantung pada besarnya lesi penumothoraks.
Menurut Mills dan Luce pasien pneumothoraks spontan dapat asistomatik atau menimbulkan kombinasi nyeri dada batuk dispnea.

  1. E.     Komplikasi
Pneumothoraks tension ( terjadi pada 3-5% pasien pneumothoraks ), dapat mengakibatkan kegagalan respirasi akut, pio, pneumothoraks, hidro-pneumothoraks / hema – pneumothoraks, henti jantung paru dan kematian (sangat jarang terjadi) pneuma mediastinum dan emfisema subkutan sebagai akibat komplikasi pneumothoraks spontan.
Biasanya karena pecahnya esofagus atau bronkusi sehingga kelainan tersebut harus ditegakkan (insidennya sekitar 1%), pneumothoraks simulran bilateral, insidennya sekitar 2%; pneumothoraks kronik, bilateral ada selama waktu lebih dari 3 bulan, insidennya sekitar 5%.

  1. F.        Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pneumothoraks tergantung dari jenis pneumothoraks, derajat kolaps berat ringan gejala, penyakit dasar dan penyulit yang terjadi untuk melaksanakan pengobatan tersebut dapat dilakukan tindakan medis atau tindakan bedah.
  1. a.        Tindakan medis
Tindakan observasi, yaitu dengan mengukur  tekanan intra pleural menghisap udara dan mengembangkan paru. Tindakan ini terutama di tujukan pada penderta pneumothoraks tertutup atau terbuka sedangkan untuk pneumothoraks ventil tindakan utama  yang harus dilakukan dekompresi terhadap tekanan intra plura yang tinggi tersebut yaitu dengan membuat hubungan dengan udara luar.
  1. Tindakan dekompresi
Membuat hubungan rongga pleura dengan dunia luar dengan cara :
  1. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk kerongga pleura dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena udara keluar melalui jarum tersebut.
  2. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
  • Dapat memakai infus set
  • Jarum abbocath
  • pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (thoraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantara troakar atau dengan bantuan klem penjepit (pean) pemasukan pipa plastik (thoraks kateter) dapat juga dilakukan me;lalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit dari sela iga ke 4 pada garis aksila tengah atau pada garis aksila belakang. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke 2 dari garis klavikula tengah. Selanjutnya ujung selang plastik didada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik di dada dan pipa kaca WSD di hubungkan melalui pipa plastik lainnya posisi ujung pipa kaca yang berada  di botol sebaiknya berada 2 cm dibawah permukkaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.
  1. Tindakan bedah
Dengan pembukaan dinding thoraks melalui operasi duicari lubang yang menyebabkan pneumothoraks dan dijahit.
  • Pada pembedahan, apabila dijumpai adanya penebalan pleura yang menyebakan paru tidak dapat mengembang, maka dilakukan pengelupasan atau dekortisasi.
  • dilakukan reseksi bila ada bagian paru yang mengalami robekan atau bila ada fistel dari paru yang rusak. Sehingga paru tersebut tidak berfungsi dan tidak dapat dipertahankan kembali.
  • pilihan terakhir dilakukan pleurodesis dan perlekatan antara kedua pleura ditempat fistel.

  1. G.       Pemeriksaan Penunjang
Analisa gas darah arteri memberikan gembaran hipoksemia meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan pneumotoraks primer paru kiri sering menimbulkan perubahan aksis QRS dan gelombang T, prekardial pada gambaran rekaman elektro kardiografi (EKG) dan dapat ditafsirkan sebagai infark mionard akut (IMA). Pada pemeriksaan foto dada tampak gambaran sulkus kostafrenikus radiolusen, sedang pneumothoraks tension pada gambaran foto dadanya tampak jumlah udara hemotoraks yang cukup besar dan susunan mediastinum kontralateral bergeser.
Pada foto dada PA, terlihat pinggir paru yang kollaps berupa garis pada pneumothoraks parsialis yang lokalisasinya di anterior atau porterior batas pinggir paru ini mungkin tidak terlihat.
Mediastinal ships” dapat dilihat pada foto PA atau fluoroskopi pada saat penderita inspirasi atau ekspirasi, terutama dapat terjadi pada “tension pneumothoraks”














      



                                                                                                                                                                                                                                                           
                                                                         
02.30 | 0 komentar | Read More

komplikasi stroke

Written By iqbal_editing on Selasa, 30 Agustus 2016 | 02.21

KOMPLIKASI STROKE
Serangan stroke tidak berakhir dengan akibat pada otak saja. Gangguan emosional dan fisik akibat terbaring lama tanpa bergerak di tempat tidur adalah bonus yang tak dapat di hindari
.

  • . Depresi
   Inilah dampak yang paling menyulitkan penderita dan orang orang yang berada di sekitarnya. Oleh karena keterbatasan akibat lumpuh, sulit berkomunikasi dan sebagainya, penderita stroke sering mengalami depresi
  • . Darah Beku
   Darah beku mudah terbentuk pada jaringan yang lumpuh terutama pada kaki sehingga menyebabkan pembengakakan yang mengganggu. Selain itu, pembekuan darah juga dapat terjadi pada arteri yang mengalirkan darah ke paru-paru sehingga penderita sulit bernafas dalam beberapa kasus mengalami kematian.
  • . Memar
  Jika penderita stroke lumpuh, tidak maslah seberapa parah, penderita harus sering di pindahkan dan di gerakkan secara teratur agaar bagian pinggul, panata, sendi kaki, dan tumit tidak terluka akibat terhimpit alas tempat tidur. Nila luka luka tidak di rwat bisa terjadi infeksi.
  • . Otot mengerut dan sendi kaku
  Kurang gerak dapat menyebabkan sendi menjadi kaku dan nyeri, jika otot otot betis mengkerut, kaki terasa sakit ketika berdiri dengan tumit menyentuh lantai, Hal ini biasanay di tangani oleh tenaga FISIOTERAPY
  • . Pneumonia ( radang paru- paru )
  Ketdakmampuan untuk bergerak setelah mengalami srtoke membuat pasien mungkin mengalami kesulitan menelan dengan sempurna atau sering terbatu-batuk sehingga cairan terkumpul di paru paru dan selanjutnya terjadi pnumonia.
  • .Nyeri Pundak
Otot-otot di sekitar pundak yang mengontrol sendi-sendi pundak akan mudah cedera pada waktu penderita diganti pakaiannya, di angkat, atau di tolong untuk berdiri. Untuk mencegahnya, biasanya tangan yang terkulai di tahan dengan sebilah papan atau kain khusus di kaitkan ke pundak, atau leher agar bertahan pada posisi yang benar. Jadi, bila anada menolong penderita stroke untuk  berdiri, Lakukan dengan cara yang benar agar tidak membuat otot-otot dareah tersebut terbebani terlalu berat.

AKIBAT / DAMPAK STROKE
 Akibat stroke di tentukan oleh bagian otak mana yang cerdera, tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah stroke, baik yang mempengaruhi bagian kanan atau kiri otak pada umumnya adalah sebgai berikut :
  1.  Lumpuh 
Kelumpuhan sebelah bagian tubuh ( hemiplegia ) adalah cacat yang paling umum akibat stroke. Bila stroke menyerang bagian kiri otak, terjadi hemiplegia kanan. Kelumpuhan terjadi dari wajah bagian kanan hingga kaki sebelah kanan termasuk tenggorokan dan lidah. Bila dampaknya lebih ringan, biasanya yang terkena di rasakan tidak bertenaga  ( hemiparesis kanan ). Bila yang terserang bagian kanan otak, yang terjadi adalah hemiplegia kiri dan yang lebih ringan di sebut HEMIPARESIS KIRI. Bagaimana pun, pasien stroke hemiplegia atau hemiparesis akan mengalami kesulitan melaksanakan kegitan sehari- hari seperti berjalan, berpakaian, dsb.. Ada juga pasien yang mengalami kesulitan untuk melakukan makan dan menelan di sebut DISAFAGIA Karena bagian otak yang menegndalikan otot oto yang telah rusak dan tidak berfungsi
  1.  Perubahan Mental
Stroke tidak selalu membuat mental penderita menjadi merosot dan beberapa perubahan biasanya bersifat sementara. Setelah stroke memang dapat terjadi gangguan pada daya pikir , kesadaran, kosentrasi, kemampuan belajar dan fungsi intelektualnya lainnya. Semua hal tersebut dengan sendirinya mempengaruhi penderita. Marah, sedih sering kali menurunkan semanagt hidupnyasehingga muncul dampak emosional yang lebih berbahaya. Ini terutama juga di sebabkan kini penderita kehilangan kemampuan tertentu yang sebelumya fasih di lakukannnya misalnya :
  • Agnosia adalah kehilanagn kemampuan untuk menegnali orang atau benda
  • Anosonia adalah tidak mengenali bagian tubuhnya sendiri
  • Apraksia adalah tidak mampu melakukan suatu gerakan atau menyusun kalimat yang di inginkannya. Bahkan kehilangan kemampuan untuk melaksanakan langkah-langkah pemikiran dalam urutan yang benar
  • Distosi Spasial adalah tidak mampu mengukur jarak atau ruang yang ingin di jangkaunya
  1. Gangguan Komunikasi  
Paling tidak sperempat dari semua pasien stroke mengalami gangguan komunikasi, yang berhubungan dengan mendengar, berbicara, membaca dan bahkan  isyarat dengan gerak tangan. Ketidakberdayaan ini membingungkan orang yang merawatnya.
  1. Disartia adalah melemahnya otot otot muka, lidah, dan tenggorokan yang membuat sulit bicara, walaupun penderita memahami  bahasa verbal maupun tulisan
  • Afasia adalah ada beberapa jenis Afasia...Afasia Ekspresif adalah kesulitan menyapaikan pikiran melalui kata kata maupun tulisa. Afasia Global adalah yang di sebabkan kerusakan di beberapa bagian terkait dengan fungsi bahasa.
  1. Gangguan Emosional 
Oleh karena umumnyapasien stroke  tidak mampunmendiri sendiri, sebagian besar mengalami kesulitan mengendalikan emosi. Penderita mudah merasa takut, gelisah, marah dan sedih. Penderitaan yang sangat umum pada pasien adalah depresi .
  1.  Kehilangan indera perasa
Pasien strike mungkin kehilangan kemampuan  indera yaitu rangsang sentuh atau jarak. Cacat sensori dapat mengganggu kemapmpuan pasien mengenal benda yang di pegangny
02.21 | 0 komentar | Read More

penanganan, pencegahan dan penelitian tentanf stroke

penanganan

Penderita stroke akut biasanya diberikan SM-20302,[55] atau microplasmin,[56] oksigen, dipasang infus untuk memasukkan cairan dan zat makanan, kemudian diberikan manitol atau kortikosteroid untuk mengurangi pembengkakan dan tekanan di dalam otak,[57] akibat infiltrasi sel darah putih. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kelumpuhan dan gejala lainnya bisa dicegah atau dipulihkan jika recombinan tissue plasminogen activator (rtPA) atau streptokinase yang berfungsi menghancurkan emboli diberikan dalam waktu 3 jam,[58] setelah timbulnya stroke. Trombolisis dengan rtPA terbukti bermanfaat pada manajemen stroke akut, walaupun dapat meningkatkan risiko pendarahan otak,[59] terutama pada area sawar darah otak yang terbuka.[60]
Beberapa senyawa yang diberikan bersamaan dengan rtPA untuk mengurangi risiko tersebut antara lain batimastat (BB-94) dan marimastat (BB-2516),[61] yang menghambat enzim MMP, senyawa spin trap agent seperti alpha-phenyl-N-t-butylnitrone (PBN) dan disodium- [tert-butylimino)methyl]benzene-1,3-disulfonate N-oxide (NXY-059),[62] dan senyawa anti-ICAM-1.[63]
Metode perawatan hemodilusi dengan menggunakan albumin masih kontroversial,[64] namun penelitian oleh The Amsterdam Stroke Study memberikan prognosis berupa penurunan angka kematian dari 27% menjadi 16%, peningkatan kemandirian aktivitas dari 35% menjadi 48%, saat 3 bulan sejak terjadi serangan stroke akut.

Pemulihan

Serangan stroke terkait dengan keterbatasan pulihnya fungsi otak, meskipun area peri-infark menjadi lebih bersifat neuroplastik sehingga memungkinkan perbaikan fungsi sensorimotorik melakukan pemetaan ulang di area otak yang mengalami kerusakan. Di tingkat selular, terjadi dua proses regenerasi dalam korteks peri-infark, akson akan mengalami perubahan fenotipe dari neurotransmiter ke dalam status regeneratif,[65] dan menjulurkan tangkainya untuk membuat koneksi baru di bawah pengaruh trombospondin,[66], laminin, dan NGF hasil sekresi sel Schwann,[67] dan terjadi migrasi sel progenitor neuron ke dalam korteks peri-infark.[68] Hampir sepanjang 1 bulan sejak terjadi serangan stroke, daerah peri-infark akan mengalami penurunan molekul penghambat pertumbuhan. Pada rentang waktu ini, neuron akan mengaktivasi gen yang menstimulasi pertumbuhan, dalam ritme yang bergelombang. Neurogenesis saling terkait dengan angiogenesis juga terjadi bergelombang yang diawali dengan migrasi neuroblas dengan ekspresi GFAP,[69] yang berada dalam zona subventrikular ke dalam korteks peri-infark. Migrasi ini dimediasi oleh beberapa senyawa antara lain eritropoietin,[70] stromal-derived factor 1 (SDF-1) dan angiopoietin-1, hingga menghasilkan neuroblas dengan jarak tempuh migrasi yang lebih panjang dan rentang waktu sitokinesis yang lebih pendek.[71]
Terhambatnya fungsi pencerap GABA ekstrasinaptik di area peri-infark yang terjadi akibat oleh disfungsi transporter GABA GAT-3/GAT-4, dalam hewan tikus, dapat dipulihkan dengan pemberian benzodiazepina.[72]

Pencegahan

Dalam manusia tanpa faktor risiko stroke dengan umur di bawah 65 tahun, risiko terjadinya serangan stroke dalam 1 tahun berkisar pada angka 1%.[73] Setelah terjadinya serangan stroke ringan atau TIA, penggunaan senyawa anti-koagulan seperti warfarin, salah satu obat yang digunakan untuk penderita fibrilasi atrial,[74] akan menurunkan risiko serangan stroke dari 12% menjadi 4% dalam satu tahun. Sedangkan penggunaan senyawa anti-keping darah seperti aspirin, umumnya pada dosis harian sekitar 30 mg atau lebih, hanya akan memberikan perlindungan dengan penurunan risiko menjadi 10,4%.[75] Kombinasi aspirin dengan dipyridamole memberikan perlindungan lebih jauh dengan penurunan risiko tahunan menjadi 9,3%.
Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya stroke adalah dengan mengidentifikasi orang-orang yang berisiko tinggi dan mengendalikan faktor risiko stroke sebanyak mungkin, seperti kebiasaan merokok, hipertensi, dan stenosis di pembuluh karotid,[76] mengatur pola makan yang sehat dan menghindari makanan yang mengandung kolesterol jahat (LDL), serta olaraga secara teratur. Stenosis merupakan efek vasodilasi endotelium yang umumnya disebabkan oleh turunnya sekresi NO oleh sel endotelial, dapat diredam asam askorbat yang meningkatkan sekresi NO oleh sel endotelial melalui lintasan NO sintase atau siklase guanilat, mereduksi nitrita menjadi NO dan menghambat oksidasi LDL[77] di lintasan aterosklerosis.
Beberapa institusi kesehatan seperti American Heart Association atau American Stroke Association Council, Council on Cardiovascular Radiology and Intervention memberikan panduan pencegahan yang dimulai dengan penanganan saksama berbagai penyakit yang dapat ditimbulkan oleh aterosklerosis, penggunaan senyawa anti-trombotik untuk kardioembolisme dan senyawa anti-keping darah bagi kasus non-kardioembolisme,[78] diikuti dengan pengendalian faktor risiko seperti arterial dissection, patent foramen ovale, hiperhomosisteinemia, hypercoagulable states, sickle cell disease; cerebral venous sinus thrombosis; stroke saat kehamilan, stroke akibat penggunaan hormon pasca menopause, penggunaan senyawa anti-koagulan setelah terjadinya cerebral hemorrhage; hipertensi,[79] hipertensi, kebiasaan merokok, diabetes, fibrilasi atrial, dislipidemia, stenosis karotid, obesitas, sindrom metabolisme, konsumsi alkohol berlebihan, konsumsi obat-obatan berlebihan, konsumsi obat kontrasepsi, mendengkur, migrain, peningkatan lipoprotein dan fosfolipase.
Biasanya di Indonesia CT Scan dan MRI baru dilakukan, setelah terjadinya stroke. Jarang angiography menggunakan kedua alat itu untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya stroke dilakukan. Sekarang ini sudah mulai banyak laboratorium klinik, klinik stroke, pembuluh darah dan penyakit kardiovaskular yang memiliki Transcranial Doppler,[80] karena alatnya kecil/portabel dan relatif murah dengan biaya pemeriksaan menggunakan alat itu hanya sekitar Rp 500.000 atau seperempat sampai seperdelapan biaya penggunaan CT Scan atau MRI. Transcranial doppler tidak seakurat kedua alat yang mahal tersebut, tetapi salah satu keuntungannya, yaitu tidak mengandung radiasi, sehingga dapat dilakukan secara berulang, misalnya untuk pamantauan selama dan sesudah/pasca stroke dan juga dapat dilakukan pada pasien yang kritis, tidak sadar, di ruang ICU.[81] Mengingat biayanya yang relatif murah, maka pemantauan kemungkinan terjadinya stroke juga sudah banyak dilakukan menggunakan Transcranial doppler, terutama di Amerika Serikat.

Penelitian

Angioplasty dan stenting

Angioplasty dan stenting telah mulai dilirik sebagai kemungkinan pencegahan yang menjanjikan dalam penanganan stroke iskemik akut. Intra-cranial stenting yang diterapkan pada gejala penyumbatan intracranial arterial stenosis, boleh dikatakan sukses mengurangi penyumbatan <50% dengan tingkat keberhasilan 90-98%, dan tingkat komplikasi utama pada peri-procedural berkisar antara 4-10%. Tingkat penyumbatan kembali dan/atau stroke yang mengikutinya juga boleh dikatakan minim. Data ini menganjurkan untuk melakukan randomized controlled trial untuk evaluasi lebih lengkap kemungkinan keuntungan perawatan dari usaha pencegahan ini.[82]

Thrombectomy mekanis

Menghilangkan gumpalan penyumbatan (clot) dapat dicoba, jika ini terjadi pada pembuluh darah besar dan merupakan suatu pilihan bagi mereka yang tidak mempan atau tidak ada perbaikan dengan intravenous thrombolytics.[83] Komplikasi-komplikasi yang mencolok timbul sekitar 7%.[84] Pada Oktober 2013, percobaan-percobaan ini tidak menunjukkan hasil-hasil yang positif.[85]

Neuroprotection

Obat-obatan yang memakan reactive oxygen species, menolak apoptosis, atau menolak inhibit excitatory neurotransmitters telah memperlihatkan secara eksperimentatif pengurangan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh iskemia. Zat-zat yang bekerja dengan cara ini disebut neuroprotective. Hingga akhir-akhit ini, percobaan pada manusia dengan zat neuroprotective telah gagal, dengan kemungkinan perkecualian barbiturate coma yang mendalam. Bagaimanapun, yang terkini NXY-059, derivatif dari disulfonyl yang merupakan the radical-scavengin phenylbutylnitrone, dilaporkan bersifat neuroprotective pada stroke.[86] Zat ini tampaknya bekerja pada pelapis pembuluh darah atau endothelium. Sayangnya, setelah percobaan yang pertama berhasil, yang kedua tidak berhasil.[87] Sehingga manfaat NXY-059 masih dipertanyakan.[88]
Hyperbaric oxygen therapy telah dipelajari sebagai kemungkinan perlindungan, tetapi akhir-akhir ini dipikirkan bahwa terapi ini tidak memberikan manfaat yang cukup
02.18 | 0 komentar | Read More

deteksiv dan diagnosis strokw

Deteksi dini

Deteksi dini kemungkinan terjadinya stroke, bukanlah diagnosis, tetapi merupakan cara untuk mengetahui kemungkinan terjadinya stroke yang harus ditindak lanjuti dengan pemeriksaan lanjutan. Jika seseorang tidak dapat berdiri dengan satu kaki selama 20 detik, maka ada kemungkinan (akan) terjadinya stroke atau kemunduran kognitif, karena untuk melakukan tugas itu diperlukan keseimbangan yang memerlukan peredaran darah yang prima ke otak. Hal ini telah diungkapkan pada jurnal Stroke American Heart Association. Semakin sulit berdiri dengan hanya satu kaki, semakin tinggi (akan) kemungkinan terjadinya stroke.[53]

Diagnosis

Diagnosis stroke adalah secara klinis beserta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain CT scan kepala, MRI. Untuk menilai kesadaran penderita stroke dapat digunakan Skala Koma Glasgow. Untuk membedakan jenis stroke dapat digunakan berbagai sistem skor, seperti Skor Stroke Siriraj, Algoritma Stroke Gajah Mada, atau Algoritma Junaedi.

Simtoma klinis

Fitur stroke iskemik yang sangat umum, menurut Uniformed Services University of the Health Sciences, masih berdasar kepada banyaknya hasil diagnosis pemeriksaan fisik terhadap penderita yang dirangkum dalam satu kurun waktu. USUHS merangkumnya menjadi tabel berikut agar dapat digunakan masyarakat awam untuk mengenali gejala klinis stroke sedini mungkin. Dan bagi tenaga medis profesional, The National Institute of Health telah membuat tabel skala strok sebagai panduan guna melakukan diagnosis dalam waktu kurang dari sekitar 5 hingga 10 menit.

Simtoma paraklinis

Beberapa senyawa biokimiawi di dalam serum darah yang dapat dijadikan dasar diagnosis dan prognosis terjadinya nekrosis otak antara lain:[54]

S100-β

S100-β adalah peptida yang disekresi astrosit pada saat terjadi cedera otak, proses neurodegenerasi dan kelainan psikiatrik. S100-β merupakan senyawa pengikat kalsium, secara in vitro, pada kadar rendah, interaksi dengan sistem kekebalan di otak akan meningkatkan kelangsungan hidup bagi neuron yang sedang berkembang, namun, pada kadar yang lebih tinggi, S100-β akan menstimulasi produksi sitokina pro-peradangan dan apoptosis.
Studi terhadap hewan menunjukkan efek neuroprotektif S100-β dengan teraktivasinya proses selular di neuron yang menahan eksitotoksisitas yang diinduksi NMDA. Peningkatan serum S100-β selalu terjadi pada stroke iskemik, dan terjadi pula pada kondisi yang lain seperti traumatic brain injury (TBI), Alzheimer dan schizophrenia.
Saat terjadi stroke iskemik, konsentrasi serum S100-β mencapai titik maksimum pada hari ke-2 hingga 4. Nilai konsentrasi maksimum S100-β berkaitan dengan skala stroke NIH, ukuran dan patofisiologi infark, sehingga semakin tinggi nilai maksimum S100-β, semakin tinggi pula risiko terjadinya transformasi hemorragik. Peningkatan S100-β juga ditemukan dalam stroke hemorragik primer, yang menunjukkan volume hematoma awal.
Peningkatan kadar S100-β tidak harus terjadi dengan cepat, dan masih banyak sel selain astrosit dan sel Schwann yang menhasilkan S100-β, sehingga penggunaan nilai serum S100-β sebagai salah satu dasar diagnosis stroke masih cukup rentan. Namun beberapa studi telah menunjukkan bahwa serum S100-β lebih terkait dengan kondisi integritas sawar darah otak.

Glial fibrillary-associated protein (GFAP)

GFAP merupakan monomeric intermediate filament protein yang terdapat di astrosit dan sel ependimal otak yang berfungsi sebagai bagian sitoskeleton. Kadar serum S100-β dan GFAP akan meningkat tajam pada hari 1-2 sesuai dengan ukuran infark, dan kembali normal sekitar 3 minggu kemudian.
Serum GFAP merupakan indikator yang lebih peka daripada S100-β pada stroke minor maupun guratan kecil, namun waktu tunda peningkatan serum ini membuat aplikasi diagnostiknya menjadi terbatas.

Myelin basic protein (MBP)

MBP adalah protein hidrofilik penting bagi struktur selubung mielin. Kadar MBP dalam CSF sering digunakan sebagai indikasi aktivitas patogen dalam sklerosis multipel. Stroke juga disertai dengan peningkatan kadar MBP dalam CSF sekitar 1 minggu setelah terjadinya serangan, dan kembali normal setelah minggu ketiga.

Fatty acid-binding proteins (FABPs)

FABP adalah kelompok molekul intraselular yang berperan dalam menyangga dan sebagai transportasi asam lemak berantai panjang, yang akan segera disekresi ke dalam sirkulasi darah sesaat setelah terjadi kerusakan sel. Di tubuh manusia terdapat 9 jenis FABP yang tersebar dalam masing-masing jenis jaringan yang berbeda. Empat jenis FABP terdapat di sistem saraf, dua diantaranya hanya ditemukan di sistem saraf pusat orang dewasa, yaitu brain-type (B-FABP) di glia dan heart-type (H-FABP) di neuron.
Ditemukannya H-FABP dalam berbagai jenis jaringan merupakan tanda-tanda infak miokardial akut. B-FABP berada dalam jaringan di dalam sistem saraf pusat dan tidak dapat dideteksi dalam serum darah manusia sehat. Serum H-FABP dan B-FABP akan tajam dalam 2-3 jam sejak terjadi serangan stroke. B-FABP merupakan indikasi yang sangat peka terhadap infark lakunar dan infark subkortikal, namun tidak menunjukkan tingkat kerusakan yang terjadi di neuron, dan bukan merupakan indikasi spesifik terjadinya stroke. Sebaliknya peningkatan H-FABP berbanding lurus dengan ukuran infark dan tingkat kerusakan saraf.

Neuron-specific enolase (NSE)

NSE merupakan salah satu dari tiga bentuk enolase, sebuah enzim yang terdapat di lintasan glikolisis. Walaupun cukup spesifik di neuron, NSE juga dapat ditemukan di kultur sel neuroendokrin dan bentuk sel kanker terkait. Konsentrasi NSE di dalam CSF akan meningkat seiring terjadinya stroke iskemik dan sejumlah cedera otak lain seperti subarachnoid hemorrhage, ICH, dan lain-lain, hingga mulai dapat dideteksi setelah 4-8 jam setelah terjadinya serangan. Konsentrasi tertinggi setelah terjadi stroke iskemik memiliki korelasi dengan nilai pada skala stroke NIH.

Protein tau (TP)

Otak memiliki 6 isomer TP yang memungkinkan terbentuknya mikrotubula dengan interaksi tubulin. Peningkatan kadar TP terjadi dengan sangat lambat dan hanya 27% total konsentrasi yang mengalami peningkatan di luar batas atas ambang normal dalam waktu 24 jam setelah serangan stroke iskemik, namun nilai konsentrasi ini menunjukkan ukuran infark dan strata serangan stroke. Peningkatan kadar TP dalam CSF pasca stroke juga merupakan indikasi ukuran infark. Akan tetapi stroke tidak mempengaruhi kadar β-amyloid, ApoE dan klusterin dalam CSF.
02.17 | 0 komentar | Read More

patofisiiologi dan faktor stroke

Patofisiologi

Hingga saat ini patofisiologi stroke merupakan studi yang sebagian besar didasarkan pada serangkaian penelitian,[18] terhadap berbagai proses yang saling terkait, meliputi kegagalan energi, hilangnya homeostasis ion sel, asidosis, peningkatan kadar Ca2+ sitosolik, eksitotoksisitas, toksisitas dengan radikal bebas, produksi asam arakidonat, sitotoksisitas dengan sitokina, aktivasi sistem komplemen, disrupsi sawar darah otak, aktivasi sel glial dan infiltrasi leukosit.[19]
Pusat area otak besar yang terpapar iskemia akan mengalami penurunan aliran darah yang dramatis, menjadi cedera dan memicu jenjang reaksi seperti lintasan eksitotoksisitas yang berujung kepada nekrosis yang menjadi pusat area infark dikelilingi oleh penumbra/zona peri-infarksi. Menurut morfologi, nekrosis merupakan bengkak selular akibat disrupsi inti sel, organel, membran plasma, dan disintegrasi struktur inti dan sitoskeleton.
Di area penumbra, apoptosis neural akan berusaha dihambat oleh kedua mekanisme eksitotoksik dan peradangan,[20] oleh karena sel otak yang masih normal akan menginduksi sistem kekebalan turunan untuk meningkatkan toleransi jaringan otak terhadap kondisi iskemia, agar tetap dapat melakukan aktivitas metabolisme. Protein khas CNS seperti pancortin-2 akan berinteraksi dengan protein modulator aktin, Wiskott-Aldrich syndrome protein verprolin homologous-1 (WAVE-1) dan Bcl-xL akan membentuk kompleks protein mitokondrial untuk proses penghambatan tersebut.
Riset terkini menunjukkan bahwa banyak neuron di area penumbra dapat mengalami apoptosis setelah beberapa jam/hari sebagai bagian dari proses pemulihan jaringan pasca stroke dengan 2 lintasan, yaitu lintasan ekstrinsik dan lintasan intrinsik.
Iskemia tidak hanya mempengaruhi jaringan parenkima otak, namun berdampak pula kepada sistem ekstrakranial. Oleh karena itu, stroke akan menginduksi imunosupresi yang dramatis melalui aktivasi berlebih sistem saraf simpatetik, sehingga memungkinkan terjadinya infeksi bakterial seperti pneumonia.

Eksitotoksisitas asam glutamat

Asam glutamat merupakan asam amino neurotransmiter eksitatorial utama di otak, akan menumpuk di ruang ekstraselular dan mengaktivasi pencerapnya.[19] Aktivasi pencerap glutamat akan mempengaruhi konsentrasi ion intraselular, terutama ion Na+ dan Ca2+. Peningkatan influx ion Na+ dapat membuat sel menjadi cedera pada awal mula terjadinya iskemia, namun riset menunjukkan bahwa sebagian besar kerusakan sel yang ditimbulkan oleh toksisitas asam glutamat saat terjadi iskemia lebih disebabkan oleh peningkatan berlebih influx ion kalsium intraselular yang kemudian menimbulkan efek toksik.

Stres oksidatif

Sepanjang proses stroke, terjadi peningkatan radikal bebas seperti anion superoksida, radikal hidroksil dan NO. Sumber utama senyawa radikal bebas turunan oksigen yang biasa disebut spesi oksigen reaktif dalam proses iskemia adalah mitokondria. Sedangkan produksi senyawa superoksida saat pasca iskemia adalah metabolisme asam arakidonat melalui lintasan siklo-oksigenase dan lipo-oksigenase. Radikal bebas juga dapat diproduksi oleh sel mikroglia yang teraktivasi dan leukosit melalui sistem NADPH oksidase segera setelah terjadi reperfusi di jaringan iskemik. Oksidasi tersebut akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut di jaringan dan merupakan molekul yang penting untuk memicu apoptosis setelah stroke iskemik.
NO umumnya dihasilkan dari L-arginina dengan salah satu isoform NO sintase, dan merupakan kluster diferensiasi neuron di seluruh bagian otak dengan sebutan nNOS. Aktivasi nNOS memerlukan kalsium/kalmodulin. Di sisi lain, ekspresi iNOS (bahasa Inggris: inducible NOS) terdapat di sel radang seperti sel mikroglia dan monosit. Kedua isoform nNOS dan iNOS memiliki peran yang merusak otak pada rentang waktu iskemia. Namun isoform yang ketiga eNOS (bahasa Inggris: endothelial NOS) memiliki efek vasodilasi dan tidak bersifat merusak.
Aktivasi pencerap NMDA saat iskemia akan menstimulasi produksi NO oleh nNOS. NO yang terbentuk akan masuk ke dalam sitoplasma dan bereaksi dengan superoksida dan menghasilkan sejenis spesi oksigen yang sangat reaktif yaitu peroksinitrita (ONOO-).
Pasca iskemia, kedua jenis spesi oksigen reaktif dan spesi nitrogen reaktif kemudian berperan untuk mengaktivasi beberapa lintasan metabolisme seperti radang, apoptosis, dan penurunan pasokan oksigen yang berdampak kepada peningkatan asam laktat melalui glikolisis anaerobik atau asidosis. Selain itu, akan tampak ekspresi gen iNOS di sel vaskular maupun sel yang mengalami peradangan dan ekspresi gen COX-2 di sel saraf di area antara infark dan penumbra. Kedua gen radang ini akan meningkatkan kerusakan iskemik.[21]

Peroksidasi lipid

Selain menghasilkan berbagai senyawa ROS, lintasan asidosis juga turut serta dalam proses sintesis protein intraselular. Peroksidasi lipid di membran sel yang menginduksi apoptosis terhadap neuron, akan menghasilkan senyawa aldehida yang disebut 4-hidroksinonenal (4-HNE) yang akan bereaksi dengan transporter membran seperti Na+/K+ ATPase, transporter glutamat dan transporter glukosa.
Kerusakan di transporter membran, yang menyebabkan influx berlebih ion Ca2+ dan radikal bebas, lebih lanjut akan mengaktivasi faktor transkripsi neuroprotektif seperti NF-κB, HIF-1 dan IRF-1. Aktivasi faktor transkripsi ini akan menginduksi produksi sitokina radang seperti IL-1, IL-6, TNF-α, kemokina seperti IL-8, MCP-1, molekul adhesi sel seperti selektin, ICAM-1, VCAM-1 dan gen pro-radang lainnya seperti IIP-10.

Disfungsi sawar darah otak

Sawar darah otak yang merupakan jaringan endotelium di otak akan merespon kondisi cedera akibat stroke dengan meningkatkan permeabilitas dan menurunkan fungsi sawarnya, bersamaan dengan degradasi lamina basal di dinding pembuluhnya. Oleh sebab itu, pada kondisi akut, stroke akan meningkatkan interaksi antara sel endotelial otak dengan sel ekstravaskular seperti astrosit, mikroglia, neuron, dengan sel intravaskular seperti keping darah, leukosit; dan memberikan kontribusi lebih lanjut pada proses peradangan, disamping perubahan sirkulasi kadar ICAM-1, trombomodulin, faktor jaringan dan tissue factor pathway inhibitor.[22] Disfungsi endotelial yang menyebabkan defisiensi sawar darah otak, impaired cerebral autoregulation dan perubahan protrombotik dipercaya merupakan penyebab cerebral small vessel disease (SVD). Penderita (SVD) dapat mengalami infark lakunar, atau dengan disertai leukoaraiosis.
Dari 594 penderita stroke, leukoaraiosis ditemukan dalam 55,4% cerebral large vessel disease (LVD) atau ateroskeloris, 30,3% dalam SVD dan 14,3% dalam cardioembolic disease. Dalam pronosis LVD, leukoaraiosis memiliki kecenderungan ke arah grup stenosis intrakranial dengan 40,3% untuk grup intrakranial, 26,9% untuk grup ekstrakranial dan 45,5% untuk grup kombinasi keduanya. Tidak ditemukan korelasi antara leukoaraiosis dengan diabetes mellitus, hiperlipidemia, merokok, hipertensi dan penyakit jantung.[23]

Infiltrasi leukosit

Di jaringan otak terdapat beberapa populasi sel dengan kapasitas untuk mensekresi sitokina setelah terjadi stimulasi iskemia, yaitu sel endotelial, astrosit, sel mikroglia dan neuron.
Peran respon peradangan pasca iskemia dilakukan oleh sel mikroglia, terutama di area penumbra dengan sekresi sitokina pro-radang, metabolit dan enzim toksik. Selain itu, sel mikroglia dan astrosit juga mensekresi faktor neuroprotektif seperti eritropoietin, TGFβ1, dan metalotionein-2.
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan peran leukosit terhadap patogenesis cedera akibat stroke seperti cedera di jaringan akibat reperfusi dan disfungsi mikrovaskular. Bukti-bukti tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian pokok yaitu,
  • terjadi akumulasi leukosit pasca iskemia hingga terjadi cedera jaringan
  • simtoma iskemia direspon dengan peningkatan neutrofil.[24] Dalam percobaan dengan tikus, rendahnya populasi neutrofil dalam sirkulasi darah menunjukkan volume infark yang lebih kecil.
  • pencegahan adhesi sel antara leukosit dengan sel endotelial pada sawar darah otak, dengan antibodi monoklonal terbukti dapat memberikan perlindungan terhadap cedera akibat stroke.
Akumulasi sel T terjadi pasca iskemia,[24] dan diperkirakan merupakan penyebab terjadinya reperfusi. Sel T CD8 dapat menginduksi cedera otak dengan molekul dari granula sitotoksik. Sel TH1 CD4+ dengan sekresi sitokina pro-radang termasuk IL-2, IL-12, IFN-γ dan TNF-α dapat memperburuk efek yang ditimbulkan stroke, sedangkan Sel TH2 CD4+ dengan sitokina anti-radang seperti IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13 lebih mempunyai peran protektif.

Pendarahan

Pada percobaan terhadap hewan kelinci, setidaknya sitokina TNF-α atau antibodinya berperan atas terjadinya pendarahan setelah terjadi stroke iskemik yang diinduksi oleh klot.[25] Dalam hal ini terjadi peningkatan prognosis terjadinya pendarahan dari 18,5% menjadi 53,3% dan peningkatan volume pendarahan hingga 87%. Disamping itu, penggunaan tissue plasminogen activator (tPA) dengan dosis standar 3,3 mg/kg akan meningkatkan kemungkinan pendarahan dari 18,5% menjadi 76,5%, efek tPA ini dapat diredam dengan penggunaan antibodi anti-TNFα. Pemberian EPO setelah 6 jam serangan stroke akan memperburuk pendarahan yang diinduksi tPA dengan mediasi MMP-9, NF-κB dan interleukin-1 receptor-associated kinase-1 (IRAK-1).[26]
Pada hewan tikus, TNF-α akan menginduksi ekspresi MMP-9 yang menurunkan kadar protein dalam sawar darah otak seperti okludin,[27] dan meningkatkan permeabilitas pada pembuluh kapiler otak.[28] MMP-9 kemudian memodulasi,[29] Gelatinase A untuk membuka sawar darah otak. Pendarahan yang terjadi kemudian direspon tubuh dengan memproduksi urokinase-type plasminogen activator (uPA). Ekspresi MMP-9 juga dapat diinduksi oleh lipopolisakarida.[29]

Faktor risiko

Hipertensi

Hipertensi akan merangsang pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh arteri dan arteriol dalam otak, serta menginduksi lintasan lipohialinosis di pembuluh ganglia basal, hingga menyebabkankan infark lakunar atau pendarahan otak.[31]

Fibrilasi atrial

Fibrilasi atrial merupakan indikasi terjadinya kardioembolisme, sedangkan kardioembolisme merupakan 20% penyebab stok iskemik.[32] Kardioembolisme terjadi akibat kurangnya kontraksi otot jantung di bilik kiri, disebut stasis, yang terjadi oleh penumpukan konsentrasi fibrinogen, D-dimer dan faktor von Willebrand.[33] Hal ini merupakan indikasi status protrombotik dengan infark miokardial, yang pada gilirannya, akan melepaskan trombus yang terbentuk, dengan konsekuensi peningkatan risiko embolisasi di otak. Sekitar 2,5% penderita infark miokardial akut akan mengalami stroke dalam kurun waktu 2 hingga 4 minggu, 8% pria dan 11% wanita akan mengalami stroke iskemik dalam waktu 6 tahun, oleh karena disfungsi dan aneurysm bilik kiri jantung.

Aterosklerosis

Penelitian mengenai lintasan aterogenesis yang memicu aterosklerosis selama ini terfokus kepada pembuluh nadi koroner, namun proses serupa juga terjadi di otak dan menyebabkan stroke iskemik.[34] Aterosklerosis dapat menyerang pembuluh nadi otak seperti pembuluh karotid, pembuluh nadi di otak tengah, dan pembuluh basilar, atau kepada pembuluh arteriol otak seperti pembuluh lenticulostriate, basilar penetrating, dan medullary. Beberapa riset menunjukkan bahwa mekanisme aterosklerosis yang menyerang pembuluh nadi dapat sedikit berbeda dengan mekanisme kepada pembuluh arteriol.
Aterosklerosis intrakranial dianggap sebagai kondisi yang sangat jarang terjadi. Hasil otopsi infark otak dari 339 penderita stroke yang meninggal akibat aterosklerosis intrakranial, ditemukan 62,2% plak intrakranial dan 43,2% stenosis intrakranial.[35] Hasil otopsi oleh National Cardiovascular Center, Osaka, Jepang terhadap 142 penderita stroke yang meninggal dalam waktu 30 hari sejak terhitung sejak terjadi serangan iskemia, menunjukkan bahwa kedua jenis trombus yang kaya akan keping darah dan yang kaya akan fibrin berkembang di culprit plaque di dalam pembuluh nadi otak merupakan faktor utama penyebab stroke aterotrombotik.[36] 70% kasus stroke kardioembolik menunjukkan keberadaan trombus sebagai sumber potensial terbentuknya emboli di jantung atau pembuluh balik terhadap penderita patent foramen ovale dan tetralogy of Fallot. Umumnya trombus yang kaya akan keping darah yang mengendap di pembuluh balik jantung, akan terlepas dan membentuk emboli di pembuluh nadi otak.

Diabetes mellitus

Berdasarkan studi hasil otopsi, penderita diabetes mellitus rentan terhadap infark lakunar dan cerebral small vessel disease. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes merupakan faktor risiko bagi stroke iskemik. Patogenesis stroke yang dipicu tampaknya dimulai dari reasi berlebih glikasi dan oksidasi, disfungsi endotelial, peningkatan agregasi keping darah, defisiensi fibrinolisis dan resistansi insulin.[37] Dalam hewan tikus, stroke iskemik yang terjadi dalam diabetes mellitus akan memicu stroke hemorragik yang disertai dengan peningkatan enzim MMP-9 di otak yang memperburuk kondisi leukoaraiosis.[38]

Transient Ischemic Attack (TIA)

Transient ischemic attack (TIA), disebut juga acute cerebrovascular syndrome (ACVS),[39] adalah salah satu faktor risiko dari stroke iskemik.[40]
TIA dapat dijabarkan sebagai episode singkat disfungsi neurologis yang biasanya terjadi akibat gangguan vaskular,[41] berupa simtoma iskemia di otak atau retina yang berlangsung kurang dari 24 jam, atau kurang dari 1 jam,[42] tanpa meninggalkan bekas berupa infark serebral[43] akut.[44]
Dari sudut pandang lain, oleh karena stroke merupakan defisiensi neurologis akibat perubahan aliran darah di jaringan otak, maka TIA dapat dikatakan sebagai indikasi atau simtoma yang ditimbulkan dari perubahan aliran darah otak yang tidak dapat dideteksi secara klinis dalam waktu 24 jam.[45]
TIA tidak selalu menjadi indikasi akan terjadinya stroke di kemudian hari, dan jarang sekali dikaitkan dengan stroke hemorragik primer. Dalam populasi manusia yang telah beranjak tua, TIA diinduksi oleh terhalangnya aliran darah di pembuluh darah besar terutama akibat aterotrombosis, namun dalam penderita yang berusia di bawah 45 tahun TIA umumnya disebabkan oleh robeknya pembuluh darah (bahasa Inggris: arterial dissection), migrain dan obat-obatan sympathomimetic. TIA juga dapat disebabkan oleh :
Namun beberapa kondisi lain dapat menimbulkan gejala yang sangat serupa dengan TIA, seperti focal seizure activity, migraine (?"spreading depression"), compressive mononeuropathies (carpal tunnel syndrome. ulnar elbow compression and so forth), sindrom Adams-Stokes, tumor otak dengan gejala neurologik transien, hematoma subdural, Demyelinating disease, hipoglisemia, hiperglisemia, primary ocular disease-glaucoma, vitreal hemorrhage. floaters and the like, functional disorders-conversion hysteria, malingering, hiperventilasi.

Cardiac papillary fibroelastoma (CPF)

Dari 725 kasus CPF, 55% merupakan penderita pria dengan lokasi tumor, umumnya, ditemukan di permukaan valvular, terutama di katup trikuspidalis aortik, selain katup mitralis. Tumor juga ditemukan di permukaan non-valvular, seperti di bilik kiri. Ukuran tumor bervariasi dari 2 mm hingga 70 mm.[46]
Manifestasi klinis CPF meliputi stroke, infark miokardial, emboli paru, gagal jantung congestive dan serangan jantung mendadak.[47] Meskipun demikian, tidak semua penderita menunjukkan simtoma demikian.

Cryptogenic cerebral infarction (CCI)

CCI paling banyak ditemukan dalam penderita patent foramen ovale baik yang disertai maupun tidak disertai septal aneurysm.[48][49] Sejak tahun 1989, CCI merupakan penyebab 40% kasus stroke iskemik. 4,9% pria dan 2,4% wanita mengalami mutasi genetik galaktosidase-alfa yang merupakan indikasi penyakit Fabry, sedangkan studi lain menunjukkan keterkaitan dengan trombofilia.[50] Lintasan patogenesis CCI diperkirakan meliputi aterosklerosis di pembuluh nadi otak, baik yang bersifat intrakranial seperti moderate middle cerebral artery stenosis, ekstrakranial seperti vertebral artery origin stenosis atau proksimal seperti thick plaques in the aortic arch yang selama ini dianggap tidak berkaitan dengan patogenesis stroke.[51]

Patent foramen ovale (PFO)

Sindrom platipnea-ortodeoksia merupakan kondisi yang jarang terjadi dengan simtoma berupa dispnea dan desaturasi arterial. PFO merupakan salah satu bentuk sindrom platipnea-ortodeoksia dengan peningkatan ortostatik di area defisiensi atrial septal.[52] Hasil diagnosa PFO yang sering ditemukan pada CCI dan migrain, juga diperkirakan sebagai penyebab emboli pada penderita tromboembolisme arterial.
02.17 | 0 komentar | Read More
 
berita unik